JAKARTA - Pemerintah melarang penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Pengusaha ritel pun menilai larangan aktivitas tersebut berpotensi besar menjadi pasal karet yang multitafsir dan menyulitkan di lapangan.
Klausul ini pun dapat mematikan para peritel yang sudah beroperasi sebelum sekolah dan tempat bermain berdiri di sekitar tempatu sahanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, ketentuan zonasi tersebut dinilai terlalu mengatur tentang cara berjualan bagi produk tembakau. Oleh karena itu, dirinya menyoroti ketidakjelasan implementasi dari amanat zonasi tersebut.
“Apakah nanti pemerintah yang akan melakukan pengukuran jarak dari tempat berjualan ke satuan pendidikan atau pemerintah akan memberlakukan zona steril di sekitar lingkup satuan pendidikan? Dan definisi pusat pendidikan ini juga belum jelas. Apakah hanya sekolah atau tempat kursus? Narasinya tidak spesifik sehingga menimbulkan multitafsirdan menjadi pasal karet,” tanya Roy, Minggu (4/8/2024).
Menurutnya, aturan zonasi ini dinilai bukan merupakan solusi yang tepat. Pasalnya, dibandingkan mengatur area penjualan, sebaiknya yang dikedepankan adalah edukasiberkelanjutan bagi anak-anak.
Jika, aturan inidiimplementasikan tanpa adanya perubahan perilaku dan edukasi bagi anak-anak, maka mereka akan dengan mudahterpapar rokok ilegal.
“Mestinya, pemerintah fokus untuk memberantas rokok ilegalagar tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Bukannyamemberikan batasan penjualan bagi rokok legal yang memberikan kontribusi sekitar Rp230 triliun bagi penerimaannegara,” terangnya.
Di samping itu, pemerintah juga seharusnya mengedepankanaspek edukasi bagi anak-anak untuk tidak memiliki kebiasaanmerokok. Sepatutnya, aspek edukasi ini dibangun sejak dinimulai dari PAUD hingga sekolah dasar dan menengah untukmenjelaskan risiko kesehatan jika terjadi penyalahgunaan.