JAKARTA - Enam perusahaan Kementerian BUMN yang sakit-sakitan terancam dibubarkan pemegang saham. Potensi likuidasi ini berupa hasil kajian PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan belum diserahkan kepada Kementerian BUMN.
Enam BUMN yang terancam dibubarkan yakni PT Indah Karya (Persero), PT Dok Dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), PT Varuna Tirta Prakarya (Persero), dan PT Semen Kupang.
Ketika dikonfirmasi perihal potensi likuidasi tersebut, Menteri BUMN Erick Thohir enggan memberikan penjelasan lebih jauh. Justru, dirinya mempersilahkan wartawan menanyakan langusng kepada pihak PPA.
“Tanya PPA lah,” ujar Erick saat ditemui di Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Setelah wacana pembubaran enam perseroan negara mengemuka sejak Juni 2024 lalu, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga memastikan bila pihaknya belum melakukan kajian. Pasalnya, masih akan melihat langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk menangani BUMN yang bermasalah.
Menurut dia, PPA akan melakukan kajian detail dan ketat, sehingga Kementerian BUMN bisa mendapatkan hasil akhir yang menyeluruh.
“Jadi semuanya berproses saja, jadi belum bisa dikatakan BUMN-BUMN yang kemarin disampaikan oleh Danareksa di DPR itu, belum tentu juga itu akan bubar. Kita belum paham juga, bisa saja terjadi, bisa juga nggak terjadi, itu masih belum," ucap Arya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Danareksa (Persero), Yadi Jaya Ruchandi mengatakan, BUMN 'sakit' yang minim operasi akan dilikuidasi. Sementara, yang berpotensi sehat bakal mendapat penanganan lebih lanjut.
“Yang potensi minimum operation more than likely itu akan di stop, apakah lewat likuidasi, atau lewat pembubaran BUMN. Sebenarnya ke sana ujungnya,” ungkap Yadi saat rapat dengar pendapat bersama Panja Komisi VI DPR.
PPA memang menangani 21 perusahaan pelat merah dan satu anak usaha. Dari jumlah itu, delapan di antaranya sudah dibubarkan, empat perseroan perlu penanganan lebih, empat lainnya berpotensi selamat. Sedangkan, enam perusahaan berpotensi dibubarkan.
“Ada yang masih 50-50 yang perlu penanganan lebih lanjut, itu, seperti PT Inti dan Djakarta Lloyd,” beber dia.
(Taufik Fajar)