SEMARANG – Sebagian orang menganggap laut adalah bentangan luas tak berujung yang memisahkan daratan. Bagi Renato Ido, lautan merupakan tempat menjalankan dua peran penting sebagai mualim 2 untuk memandu kapal melintasi samudra dan dokter darurat yang menjaga kesehatan kru.
Di usianya yang masih terbilang muda, 31 tahun, Renato telah mengabdikan hidupnya di atas kapal berukuran sangat besar milik PT Pertamina (Persero) yaitu Pertamina Gas 1 (PG-1). Pria asal Tuban Jawa Timur itu berbagi pengalaman yang tak hanya soal navigasi, tetapi juga tanggung jawab kemanusiaan.
Perjalanan hidup Renato di dunia maritim berawal dari mimpi sederhana di kota kelahirannya. Ia memilih menempuh pendidikan di Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang pada 2011, dan selama dua tahun pertama ia fokus pada teori dan praktik di kampus. Pada 2013, Renato berlayar sebagai kadet di kapal Pertamina, mengarungi lautan selama 13 bulan.
"Sejak jadi kadet, saya sudah belajar banyak tentang sistem dan manajemen kapal Pertamina. Jadi, setelah lulus, saya tidak ragu untuk kembali bekerja di perusahaan ini," kenangnya dengan semangat, dalam wawancara eksklusif melalui sambungan telepon dengan Okezone, saat kapalnya bersandar di Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (21/10/2024).
Renato lulus dari Pendidikan Pelaut pada tahun 2016, dan kembali bergabung dengan Pertamina. Tugasnya membawa kapal muatan minyak mentah hingga akhirnya berlabuh ke kapal gas membuatnya lebih mengenal dunia pelayaran.
"Saya sudah banyak mencoba berbagai jenis kapal. Saat lulus pertama kali, saya ditugaskan sebagai perwira di kapal crude oil selama kurang lebih tujuh bulan atau satu kontrak. Setelah itu, saya pindah ke kapal gas dan bertahan sampai sekarang," ungkapnya.
Karier Renato dimulai sebagai junior officer, atau yang biasa disebut mualim 4, setelah lulus pendidikan pelaut. "Saya awalnya menjadi mualim 4 di empat kapal. Setelah itu, saya naik menjadi mualim 3 dan bertugas di dua kapal. Kini, saya sudah menjadi mualim 2 di tiga kapal selama hampir dua tahun," kata Renato.
Bagi Renato, bekerja di kapal gas memiliki tantangan tersendiri, namun justru memberikan rasa nyaman karena standar keselamatan yang lebih ketat dibandingkan kapal jenis lain. Ia pun menyadari bahwa banyak orang awam yang menganggap kapal gas berbahaya.
"Kalau saya sendiri, saya lebih nyaman di kapal gas karena sistem manajemennya lebih safety. Standar keselamatan di kapal gas menurut saya jauh lebih tinggi, jadi saya merasa lebih tenang," jelasnya.
"Mungkin orang awam melihat kapal gas itu berbahaya. Tapi bagi kami, para pelaut yang sudah terbiasa di kapal gas, semakin tinggi standar keselamatan, semakin baik dan aman," ujar Renato.
Ia juga menekankan bahwa safety culture (budaya keselamatan) dan safety behaviour (perilaku keselamatan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian para awak kapal gas. Renato menjelaskan, dalam setiap tugas di kapal gas, mitigasi risiko harus selalu dilakukan.
"Setiap hari, keselamatan adalah prioritas. Seperti saat ada tamu atau pengunjung yang naik ke kapal, mereka langsung mendapat safety induction (pelatihan keselamatan kerja). Ini kami lakukan ketika kapal sandar di Tanjung Sekong, Cilegon, pada Senin 23 September 2024 lalu. Pengunjung diajarkan apa saja yang tidak boleh dilakukan di area dek kapal, semuanya sudah menjadi budaya di kapal gas. Semakin tinggi standar keselamatannya, semakin hati-hati kami bekerja," tambahnya.
Penjaga Kehidupan
Menurutnya, menjadi pelaut bukan sekadar mengarungi samudra, tetapi juga tentang menjaga kehidupan rekan-rekannya di atas kapal. Di sinilah peran istimewanya sebagai “dokter darurat” muncul. Kapal gas yang jauh dari daratan dan rumah sakit, menuntut kru untuk selalu siap dalam keadaan darurat medis.
“Kami di kapal punya minihospital, dan saya sebagai mualim 2 juga bertanggung jawab sebagai medical officer,” ujar Renato.
Sertifikat “Medical Care” yang didapatkan dari masa kuliahnya menjadi kunci utama untuk menangani situasi medis darurat di kapal. Namun, Renato tidak berhenti di situ. Ia kerap berkonsultasi dengan dokter untuk memperdalam literasinya tentang obat-obatan dan prosedur pertolongan pertama.
Tak jarang, tantangan medis datang di luar dugaan. Salah satu momen yang tak terlupakan bagi Renato terjadi ketika kapal yang mereka tumpangi berlabuh di Stockholm, Swedia. Musim dingin ekstrem membuat seorang kru mengalami kesulitan buang air kecil.
"Saya belum pernah menangani hal seperti itu, tapi berkat konsultasi dengan dokter perusahaan, masalah tersebut bisa segera teratasi. Alhamdulillah semuanya bisa tertangani," ceritanya.
Selain peran medis, Renato juga memastikan kesehatan kru tetap terjaga dengan rutinitas harian yang ketat. Di kapal, alat pengukur tekanan darah dan suhu tubuh tersedia di tempat umum, dan setiap pagi kru wajib melakukan pengecekan.
“Saya mengawasi dan mencatat hasil pengecekan mereka setiap hari. Berat badan juga dipantau, karena obesitas di kapal bisa jadi masalah serius,” tambahnya.
Renato juga bercerita tentang pentingnya inventarisi obat-obatan dan peralatan medis di atas kapal. "Di minihospital, kami memiliki banyak peralatan dan obat-obatan yang sesuai dengan standar internasional. PIS Pertamina bahkan sering meningkatkan standar tersebut," ujarnya bangga.
Perjalanan hidup Renato sebagai pelaut tak lepas dari tantangan personal. Menikah dengan seorang perempuan asal Cilacap, yang merupakan teman kuliahnya dulu, Renato harus rela meninggalkan rumah hanya dua pekan setelah pernikahan untuk kembali bertugas.
"Awalnya berat, tapi komunikasi yang baik dengan istri membuat semuanya lebih mudah. Apalagi sekarang komunikasi bisa sangat mudah, baik telepon maupun video call. Dia sangat mendukung pekerjaan saya," ungkapnya penuh syukur.
Baginya, menjadi pelaut sekaligus dokter darurat, merupakan gambaran dari dedikasi dan kemanusiaan. Dalam setiap perjalanan, ia belajar bahwa samudra mengajarkan lebih dari sekadar navigasi; melainkan juga arti kehidupan, cinta, dan tanggung jawab yang tak pernah berujung.
Kapal Kebanggaan
Kapal Pertamina Gas 1 (PG-1) milik Pertamina International Shipping (PIS), merupakan jenis Very Large Gas Carrier (VLGC) yang menjadi andalan untuk distribusi gas ke berbagai negara. Dengan panjang 225,8 meter dan lebar 36 meter, kapal ini dilengkapi teknologi canggih serta fasilitas mewah yang memanjakan kru dan menjamin keselamatan selama pelayaran.
Kapten Prawoto, nakhoda kapal PG-1, mengungkapkan bahwa dukungan manajemen kepada para kru sangat besar. Ia menyebutkan kapal ini memiliki fasilitas seperti bathub di kamar pribadinya, tempat gym yang lengkap, hingga recreation room. Selain itu, terdapat lapangan basket dan futsal.
"Kami diberikan kapal yang tidak hanya canggih tapi juga sangat nyaman. Fasilitas di kapal ini seperti hotel bintang lima, bahkan bisa setara dengan bintang tujuh," ujarnya.
Seluruh kru juga tak pernah terkendala ketika berkomunikasi dengan keluarga meski tengah berlayar. Jaringan internet melalui saluran satelit di kapal stabil sehingga kru dapat melakukan video call dengan lancar dan memonitor CCTV rumah.
"Jauh dari keluarga, tapi tetap dekat. Semua ini berkat fasilitas internet luar biasa di kapal ini," tambah Prawoto.
Selain fasilitas mewah, kapal PG-1 dilengkapi dengan teknologi pengurangan emisi yang sesuai regulasi internasional. Kapal ini juga telah memenuhi persyaratan masuk US Coast Guard (USCG), standar tertinggi untuk kapal yang ingin masuk terminal-terminal Amerika Serikat.
"Sejak 2021, PG1 telah berhasil masuk pasar AS dengan memenuhi persyaratan ketat USCG," jelas Dewi Oktavia Husain, VP Human Capital PIS.
Saat bersandar ke Terminal Tanjung Sekong Cilegon, PG-1 membawa 45.000 metrik ton LPG milik Pertamina Patra Niaga, yang akan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Dengan 23 awak kapal, semuanya warga negara Indonesia, PG1 menjadi simbol prestasi maritim Indonesia di kancah internasional.
"Kami bangga bahwa kapal ini sepenuhnya diawaki oleh kru Indonesia, dan diterima USCG merupakan prestasi tersendiri," ujar Dewi.
Dewi menambahkan, dalam aspek kesehatan, kru kapal mendapatkan perhatian ekstra. Setiap hari, seorang petugas melakukan daily check-up untuk memastikan kesehatan kru optimal. Mereka juga mendapatkan medical check-up tahunan dan perlindungan asuransi kesehatan.
"Kami memastikan kru mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik, sesuai standar yang diterapkan di seluruh Pertamina Grup," ungkap Dewi.
Skrining Ketat
Pakar transportasi laut mesin kapal dari Politeknik Maritim Negeri Indonesia (Polimarin) Semarang, Juwarlan, M.Mar.E, menyebut kapal tanker sejenis VLGC memiliki persyaratan kesehatan yang ketat bagi para awaknya sebelum bisa naik ke kapal. Langkah itu untuk memastikan kesehatan para kru tetap terjaga selama perjalanan panjang di laut.
Proses medical check-up yang ketat, ditambah dengan keberadaan tenaga medis darurat di kapal, menjadikan kapal VLGC sebagai salah satu kapal dengan standar kesehatan tinggi.
Juwarlan menjelaskan bahwa sebelum seseorang diizinkan bergabung sebagai kru di kapal tanker, mereka harus melalui serangkaian pemeriksaan medis yang ketat.
“Sebelum naik ke kapal, setiap awak kapal harus melalui proses medical screening yang sangat ketat. Jika ditemukan memiliki penyakit bawaan yang serius, mereka tidak diperbolehkan naik kapal,” ujar Juwarlan.
Hal ini bertujuan untuk meminimalkan risiko kesehatan yang dapat terjadi selama pelayaran, terutama mengingat kondisi di laut yang sering kali jauh dari fasilitas medis darat. Dengan proses skrining yang ketat, sangat jarang ada awak kapal yang memiliki penyakit kronis.
“Memang ada, tetapi sangat kecil kemungkinan ada yang memiliki penyakit kronis di kapal tanker seperti VLGC ini. Ini karena skrining kesehatan yang ketat,” tambahnya.
Selain skrining awal, para kru juga harus menjalani medical check-up berkala sebelum pelayaran dimulai. Menurut Juwarlan, ini adalah prosedur wajib yang memastikan setiap awak kapal dalam kondisi prima.
“Medical check-up dilakukan dengan standar tinggi. Sangat mudah bagi awak kapal untuk gagal lolos jika kondisi kesehatannya tidak sesuai persyaratan,” jelasnya.
Meski begitu, kapal-kapal VLGC juga dilengkapi dengan minihospital yang lengkap dengan peralatan medis serta obat-obatan untuk kebutuhan darurat. Tanggung jawab pengelolaan inventaris alat kesehatan dan obat-obatan ini biasanya dipegang oleh mualim 2, yang berperan sebagai tenaga medis darurat di kapal.
“Mualim 2 bertanggung jawab atas inventarisasi alat dan obat-obatan di kapal. Mereka juga berperan sebagai tenaga kesehatan darurat untuk menangani kondisi medis yang mungkin terjadi,” papar Juwarlan.
Dengan adanya kru yang sudah terlatih serta fasilitas medis yang memadai, Juwarlan meyakini bahwa keberadaan petugas medis khusus di kapal tanker tidak diperlukan. “Di kapal tanker seperti VLGC, seluruh awaknya sudah melewati tahapan skrining yang ketat, dan mereka juga dibekali pelatihan kesehatan dasar. Oleh karena itu, tidak perlu ada petugas medis khusus seperti di kapal penumpang,” jelasnya.
Perbedaan signifikan terlihat pada kapal penumpang, di mana keberadaan dokter atau tenaga medis khusus sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa riwayat kesehatan penumpang kapal tidak diketahui secara detail, berbeda dengan awak kapal tanker yang seluruhnya telah menjalani pemeriksaan kesehatan ketat.
"Di kapal penumpang, kita tidak tahu riwayat kesehatan setiap penumpang, sehingga dokter atau tenaga medis sangat diperlukan," ungkap Juwarlan.
(Dani Jumadil Akhir)