Sementara itu, di Eropa, tarif pajak atas keuntungan dari kripto dapat mencapai 50%. Sebaliknya, di Dubai dan beberapa negara Timur Tengah, tidak ada pajak penghasilan sehingga transaksi kripto sepenuhnya bebas pajak.
Menurut Oscar, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final untuk kripto, serupa dengan mekanisme perpajakan di pasar saham. Di negara lain, pajak kripto umumnya mengikuti skema Pajak Penghasilan (PPh) progresif, di mana semakin besar keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi pajak yang dikenakan dengan besaran tarif mengikuti pendapatan tahunan orang itu.
Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di Indonesia justru lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak
berbasis keuntungan.
Meskipun lebih rendah, sistem pajak final dinilai kurang ideal karena tetap dikenakan meski trader mengalami kerugian, berbeda dengan skema capital gains tax yang hanya dikenakan saat ada keuntungan. Selain itu, trader yang menggunakan exchange luar negeri menghadapi tantangan dalam pelaporan pajak, karena hingga saat ini belum ada sistem yang jelas untuk menagih pajak dari transaksi yang dilakukan di platform asing.
Oscar menyoroti bahwa pajak memengaruhi biaya transaksi di exchange lokal.
“Sebagian besar biaya transaksi di Indodax digunakan untuk membayar pajak,” ujarnya.
Dia berharap revisi PMK 68 dapat menghapus PPN agar biaya transaksi semakin kompetitif dan mendorong adopsi kripto di Indonesia.
Terkait transaksi di exchange luar negeri atau yang belum memiliki izin dari OJK, PMK 68 mengatur bahwa pajak PPh final yang dikenakan adalah 0,2% atau dua kali lipat dari yang berlaku di exchange berizin. Namun, ada ketidakpastian dalam implementasi aturan ini.
"Seharusnya, exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Tapi karena
belum ada mekanisme pemungutan oleh exchange luar, akhirnya trader yang harus melaporkan sendiri. Bahkan, di beberapa wilayah, pajak yang dikenakan masih menggunakan skema PPh progresif," kata Oscar.