Tekanan jual yang signifikan di pasar saham Indonesia pada pembukaan kembali bursa, yang mencapai penurunan hingga hampir 8 persen, mengindikasikan kepanikan investor dan memicu mekanisme trading halt atau pembekuan perdagangan sementara untuk meredam volatilitas.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Sri Mulyani mengapresiasi langkah-langkah Bank Indonesia (BI) yang telah diantisipasi bahkan sebelum pembukaan pasar.
"Nilai tukar kita, Pak Gubernur Bank Indonesia sudah menyampaikan juga beberapa langkah bahkan sebelum pembukaan hari ini dan Alhamdulillah kita sekarang sudah bisa turun ke bawah 17.000," katanya.
Menkeu menekankan bahwa pergerakan harga saham, nilai tukar, dan obligasi saat ini bertindak sebagai shock absorber terhadap guncangan eksternal. Meskipun respons pasar mungkin menimbulkan kekhawatiran, fondasi ekonomi yang tetap harus dijaga menjadi prioritas.
Sri Mulyani juga menyoroti tekanan tinggi di pasar keuangan global, tercermin dari pelemahan US Treasury dan indeks dolar, serta peningkatan indeks volatilitas (VIX). Meskipun kenaikannya belum separah saat awal pandemi COVID-19, alarm kewaspadaan mulai berbunyi.
"Tekanan di pasar keuangan yang tinggi terakhir ini sebetulnya bukan hal yang baru. US Treasury baik yang 2 tahun maupun 10 tahun agak melemah karena dia diatur safe haven tapi dolar indeksnya juga melemah jadi kepercayaan 100 persen terhadap dolar juga mulai menurun. Sementara Fixed Index yaitu Volatility juga meningkat tapi kalau kita bandingkan pada saat COVID kenaikannya sepertinya masih relatively manageable tapi ini menggambarkan suasananya, alarmnya mulai berdengung jadi kita harus juga tetap hati-hati, tanpa panik," jelasnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengutip proyeksi dari lembaga keuangan besar seperti J.P. Morgan dan Goldman Sachs yang meningkatkan probabilitas resesi AS menjadi 60 persen. Outlook ini juga berdampak pada penurunan harga komoditas global.
Dengan situasi global yang penuh ketidakpastian ini, Sri Mulyani menekankan pentingnya kewaspadaan tanpa panik dalam mengelola ekonomi Indonesia, sambil terus memantau perkembangan dan menjaga fundamental ekonomi yang kuat.
(Taufik Fajar)