Masuknya ojol ke dalam kategori UMKM bukan hanya soal bantuan langsung, tapi juga menyentuh ranah perpajakan. Pemerintah berencana memberikan insentif berupa PPh Final yang lebih ringan, bahkan potensi pembebasan dalam jumlah tertentu. Ini tentu menjadi angin segar, mengingat penghasilan pengemudi ojol belum tentu stabil setiap bulan.
Dengan status UMKM, para ojol juga akan memiliki akses terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah. Dana pinjaman ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari servis kendaraan, pembelian perlengkapan kerja, hingga modal usaha sampingan. Ini membuka ruang diversifikasi pendapatan, yang bisa jadi solusi jangka panjang bagi keberlangsungan pengemudi ojol.
Langkah berikutnya adalah memungkinkan ojol untuk membeli LPG 3 kg bersubsidi, terutama bagi mereka yang memiliki usaha kecil di rumah seperti kuliner rumahan atau minuman ringan. Pemerintah menilai banyak pengemudi ojol yang memiliki usaha sampingan, dan dengan legalisasi status UMKM, subsidi ini bisa menjangkau mereka lebih adil.
Meski terlihat menjanjikan, sejumlah pihak mempertanyakan kesiapan regulasi dan data yang dibutuhkan. Proses validasi dan verifikasi status ojol sebagai pelaku UMKM dinilai akan menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, potensi penyalahgunaan subsidi juga menjadi perhatian serius, mengingat data ojol saat ini masih tersebar di berbagai platform aplikasi.
Wacana pemerintah untuk memasukkan ojol ke dalam kategori UMKM bukan sekadar gagasan administratif. Ini adalah upaya besar untuk mengangkat harkat hidup para pengemudi yang selama ini menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat.
Jika dijalankan dengan cermat dan transparan, bukan tidak mungkin langkah ini menjadi terobosan penting dalam sejarah ekonomi digital Indonesia. Namun, kerja sama antar lembaga, pemangku kepentingan, hingga perusahaan aplikasi menjadi kunci sukses implementasinya di masa depan.
(Taufik Fajar)