JAKARTA – Mantan pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi, mengakui bahwa dialah yang menetapkan bunga pinjaman online (pinjol) sebesar 0,8% per hari selama menjabat sebagai Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech periode 2017–2020.
Pengakuan ini disampaikannya di tengah proses pengusutan dugaan praktik kartel bunga pinjol oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hendrikus menyatakan kesiapannya untuk memberikan kesaksian terkait kebijakan tersebut.
“Bukan berani, saya wajib. Kalau saya tidak berani, ya ngapain saya mau jadi pimpinan saat itu? Seorang pejabat negara, ketika dia mengambil posisinya sebagai pejabat negara, maka dia harus satu, siap menikmati fasilitasnya, dua, siap menerima risikonya, termasuk di penjara,” tegas Hendrikus saat ditemui MNC Portal di Jakarta, Sabtu (17/5/2025).
Lebih lanjut, Hendrikus menyatakan bahwa perintah pematokan bunga tersebut didasari oleh niat baik, bukan atas kesepakatan antarperusahaan pinjol seperti yang diduga oleh KPPU.
“Waktu itu saya pejabat negara, dan saya perintahkan. Bahasa saya tetap sama di KPPU, memang saya yang perintahkan, dengan berbagai pertimbangan. Seratus persen dasar instruksi saya adalah niat baik, bukan seperti yang dikatakan di Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Bukan dia (perusahaan pinjol) yang bersepakat, tapi saya yang perintahkan,” jelasnya.
KPPU sendiri tengah mengusut dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait pengaturan bersama penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending soal penetapan bunga.
Adapun KPPU menduga Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan perusahaan pinjol anggotanya secara bersama-sama membuat atau melaksanakan perjanjian penetapan harga atau bunga yang dikenakan kepada konsumen, berdasarkan pedoman asosiasi sebesar 0,8%, yang kemudian turun menjadi 0,4% pada 2021.
KPPU telah memutuskan untuk menyidangkan dugaan perkara kartel bunga pinjol dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan dalam waktu dekat.
Menanggapi potensi dampak kebijakan pematokan bunga terhadap pendanaan di sektor P2P lending, Hendrikus menyampaikan pandangannya.
“Makanya di P2P lending itu, siapa pun boleh—pinjaman dari seluruh masyarakat untuk bawa masuk dananya. Kenapa dananya tidak masuk-masuk? Mungkin ada kebijakan lain yang menghalangi, termasuk tadi ketika KPPU mempermasalahkan penyelenggara. Bisa jadi pihak yang mau masuk memberikan pendanaan lewat P2P lending jadi ragu,” ujarnya.
Pengakuan terbuka dari mantan pejabat tinggi OJK ini tentu akan menjadi poin penting dalam penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU. Pernyataan Hendrikus yang siap bertanggung jawab dan menegaskan bahwa pematokan bunga adalah perintahnya sendiri dengan dasar niat baik, akan menjadi fokus utama dalam persidangan yang akan datang.
Perkembangan kasus dugaan kartel bunga pinjol ini terus menjadi perhatian publik, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap konsumen dan perkembangan industri fintech di Indonesia.
Sebelumnya, AFPI menegaskan bahwa batas bunga maksimum yang pertama kali diterbitkan dalam Code of Conduct tahun 2018—dan sekarang sudah dicabut serta tidak berlaku lagi—tidak pernah dimaksudkan untuk menyeragamkan harga antarpelaku platform, melainkan sebagai upaya mendorong penurunan bunga yang saat itu sangat tinggi, sekaligus membedakan layanan pinjaman legal (pendar) dari praktik pinjol ilegal yang tidak diawasi.
“Waktu itu, bunga pinjaman daring bisa mencapai di atas 1 persen per hari, bahkan ada yang dua hingga tiga kali lipat. Batas bunga maksimum justru ditujukan agar platform legal tidak ikut-ikutan mengenakan bunga mencekik. Ini bagian dari perlindungan konsumen,” jelas Sunu Widyatmoko, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019–2023 dalam keterangan resmi, Rabu (14/5).
(Feby Novalius)