Sri Mulyani melanjutkan, eskalasi konflik Timur Tengah membuat kebijakan fiskal ekspansif Amerika Serikat (AS) berpotensi menyebabkan sentimen terhadap fiskal negara maju menjadi negatif, sehingga bisa meningkatkan imbal hasil surat utang pemerintah AS (US Treasury).
Gejolak-gejolak ini pun menimbulkan dua risiko utama, yaitu ketidakpastian harga minyak dan pelemahan ekonomi global.
“Itu kombinasi yang harus kita waspadai, baik efek tekanan harga atau inflasi maupun kenaikan imbal hasil karena geopolitik dan kebijakan fiskal. Kedua hal ini menyebabkan dampak kepada seluruh dunia, termasuk Indonesia,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, dampak konflik Iran-Israel juga bisa membebani APBN. Meski pendapatan negara berpotensi meningkat dari serapan sektor migas, namun belanja negara akan tertekan mengingat kebutuhan impor minyak.
Realisasi harga minyak hingga sejauh ini masih di bawah asumsi makro APBN 2025, yakni pada posisi USD62,75 per barel pada akhir Mei dengan rata-rata tahun berjalan (year-to-date/ytd) USD70,05 per barel. Sedangkan pada asumsi makro APBN, nilainya dipatok sebesar USD82 per barel.
“Harga minyak ini selain dipengaruhi kondisi di dalam negeri, juga dipengaruhi oleh situasi Timur Tengah, yaitu perang Israel dan Iran. Ini adalah situasi APBN, yang asumsinya sangat bisa dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global dan kejadian perang di belahan bumi yang lain,” tuturnya.