Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Fenomena Rojali di Mal, Alarm Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja

Anggie Ariesta , Jurnalis-Sabtu, 26 Juli 2025 |14:17 WIB
Fenomena Rojali di Mal, Alarm Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja
Rombongan Jarang Beli di Mal Jadi Sorotan. (Foto: Okezone.com/Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) di pusat perbelanjaan menjadi indikator bahwa ekonomi Indonesia tertekan. Fenomena ini terjadi dan dialami masyarakat kelas menengah.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menjelaskan, fenomena Rojali sudah ada sejak lama, terutama pasca pandemi COVID-19.

"Fenomena Rojali ya, orang-orang yang cuman belanja makanan, nongkrong tanpa menghabiskan uang untuk membeli barang-barang yang ada di pusat perbelanjaan seperti mal. Ini sebenarnya fenomena yang sudah cukup lama ya," kata Bhima saat dihubungi iNews Media Group, Sabtu (26/7/2025).

Menurut Bhima, banyak masyarakat kelas menengah yang jumlahnya semakin menurun dan terhimpit oleh berbagai biaya hidup, termasuk inflasi bahan pangan dan perumahan, serta tingginya suku bunga.

Mereka juga kerap terjebak pada cicilan utang, sementara pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) cenderung mengalami penurunan.

"Artinya kelas menengah ini ya akhirnya mereka belanja untuk sekadar rekreasi, sekadar untuk refreshing," lanjut Bhima.

Dia menjelaskan, mal yang banyak menyediakan kebutuhan sekunder dan tersier seperti barang-barang mewah, menjadi tempat bagi mereka untuk cuci mata atau sekadar mencari hiburan, tanpa melakukan pembelian besar. Konsumen kini lebih fokus pada kebutuhan pokok.

Selain tekanan biaya hidup, Bhima juga menyoroti peran e-commerce dalam mengubah perilaku konsumen.

"Ada juga sebagian alasan lainnya karena mereka membeli beberapa barang sekunder maupun tersier itu di toko online. Dengan diskon ongkos kirim dan promo-promo yang tidak ditawarkan oleh mal misalnya," ungkapnya.

Fenomena Rojali ini diperkirakan akan bersifat jangka panjang, tanpa tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat. Hal ini menuntut pusat perbelanjaan untuk beradaptasi.

"Pusat perbelanjaan lah yang harus melakukan penyesuaian dengan menggeser yang tadinya banyak menyediakan gerai baju, gerai-gerai yang terkait dengan kebutuhan sekunder. Sekarang banyak yang bergeser menjadi pusat F&B, pusat makanan minuman, kemudian rekreasi keluarga. Itu yang sekarang diminati," jelas Bhima.

 

Dia menambahkan bahwa mal-mal lama yang berhasil mengubah konsep ini mampu bertahan dengan tetap menopang pendapatan dari pengeluaran konsumen untuk rekreasi.

Bhima memperkirakan bahwa fenomena ini akan berlanjut hingga tahun depan, sejalan dengan adanya perang dagang yang dapat memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor padat karya.

"Kemudian juga daya beli masyarakat yang memang sedang lesu. Ini akan membuat situasinya terjadi," katanya.

Faktor lain yang turut berkontribusi adalah efisiensi belanja pemerintah, yang secara tidak langsung ikut mengurangi dompet kelas menengah.

"Sehingga mereka berpikir ulang untuk melakukan belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial," tutup Bhima.

(Feby Novalius)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement