Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Polemik Utang Jumbo, China Paling Diuntungkan dari Proyek Kereta Cepat Whoosh

Binti Mufarida , Jurnalis-Rabu, 22 Oktober 2025 |07:17 WIB
Polemik Utang Jumbo, China Paling Diuntungkan dari Proyek Kereta Cepat Whoosh
Polemik Utang Jumbo, China Paling Diuntungkan dari Proyek Kereta Cepat Whoosh (Foto: KCIC)
A
A
A

JAKARTA - Pakar ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menilai bahwa China merupakan pihak yang paling diuntungkan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh). Kini proyek kereta cepat Whoosh dalam bayang-bayang utang bak bom waktu.

Menurut Ichsanuddin, sejak awal proyek ini tidak dijalankan dengan mekanisme yang jelas antara kerja sama business to business (B2B) atau business to government (B2G). Dia bahkan menyebut terjadi penyimpangan prosedural dalam penugasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Yang statusnya sebenarnya B2B tapi kemudian terkena beban negara karena BUMN ditugaskan. Artinya secara prosedur hal dia menjadi tidak tampak tegas apakah memang konstruksinya B2B atau B2G itu kalimat penting di situ,” kata Ichsanuddin dalam dialog Rakyat Bersuara di iNews TV, Selasa (21/10/2025).

Dia juga menyoroti pergeseran studi kelayakan (feasibility study) dari Jepang ke China, yang menurutnya menyimpan tanda tanya besar. “Kemudian ini kok tiba-tiba bergeser. Ini ada informasi asimetri, nah informasi asimetri dari Jepang bocor ke China. Siapa yang mau bocorin? Siapa yang memimpin negosiasi begitu dan itu masih ditelusuri lebih dalam," katanya.

Lebih lanjut, Ichsanuddin menilai proyek Whoosh menjadi pintu masuk bagi invasi China ke Indonesia. Dia menyebut terdapat empat bentuk dominasi yakni modal, teknologi, material, dan tenaga kerja, yang seluruhnya didatangkan dari China.

“Nah begitu masuk ke dalam, menarik di sini ada tiga kata kuncinya begitu masuk dalam kajian saya, maka sesungguhnya China, pemerintah China itu sudah melakukan invasi modal, invasi teknologi, invasi material, karena semuanya dari China, yang paling menarik invasi tenaga kerja. Ini pada kasus Whoosh,” paparnya.

“Makanya tadi bergeser nih FS (Feasibility Study) ke China, oke disetujui. Maka pada saat disetujui, itu ada invasi, ada invasi modal, ada invasi teknologi, ada invasi material dan yang menarik paling menarik invasi tenaga kerja,” tambah Ichsanuddin.

Menurut Ichsanuddin, hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang siapa sebenarnya yang memperoleh manfaat terbesar dari proyek tersebut. “Ketika terjadi invasi dari situ maka muncul pertanyaan kalau begitu sesungguhnya dibalik proyek pembuangan kereta api ini siapa yang sesungguhnya memperoleh benefit," ujarnya.

“Saya enggak bicara dulu profit, saya enggak bicara dulu profit, siapa yang sesungguhnya memperoleh benefit atas proyek ini? Udah tahu kan China,” pungkasnya.

Sementara itu, Analis Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun menilai Kereta Cepat Whoosh tidak efisien dan berpotensi terus merugikan negara. Dia mengungkapkan, proyek tersebut bahkan telah mencatat kerugian mencapai Rp4,1 triliun dalam satu tahun operasionalnya.

“Pembangunan dari awal sebetulnya tidak memenuhi syarat bahwa ini dijalankan dengan prinsip good governance. Karena tidak memenuhi syarat sebetulnya dan beberapa pengamat kebijakan publik mengatakan bahwa ini tidak menguntungkan dan bahkan berpotensi kita rugi,” kata Ubedillah dalam dialog Rakyat Bersuara di iNews TV.

 

Menurutnya, sejak mulai beroperasi pada akhir 2023, KCJB sudah mencatat kerugian Rp4,1 triliun pada tahun pertama 2024. Sementara pada semester pertama 2025, kerugian kembali tercatat sebesar Rp1,6 triliun.

“Ternyata dalam satu tahun sudah mengalami kerugian Rp4,1 triliun di Semester pertama 2025, itu 2024, karena kan beroperasi sekitar akhir 2023 ya, ternyata rugi 4,1 triliun dalam 1 tahun. Sekarang semester 1, sudah rugi Rp1,6 triliun,” ungkap Ubedillah.

“Jadi ini memang proyek rugi. Dan itu menjadi beban apalagi ketika kemudian dialihkan kepada APBN begitu,” tambahnya.

Ubedillah juga menyoroti ketidakefisienan proyek tersebut, yang dianggap melanggar perjanjian awal dengan pihak China. Dirinya menjelaskan bahwa kontrak awal menargetkan proyek rampung pada 2019, namun baru selesai pada 2023.

“Jadi memang enggak efisien dan melanggar perjanjian. Kemudian kita tahu ketika kontrak dengan China itu perencanaannya itu selesai 2019 apa yang terjadi baru selesai tahun 2023 Jadi molor. Jadi menurut saya di era sangat mudah dan negara membangun sesuatu yang sangat mercusuar tetapi dengan cara-cara yang maaf ya sangat tradisional,” ujarnya.

Selain masalah kerugian dan keterlambatan, Ubedillah juga mengaitkan proyek ini dengan indikasi kuat adanya praktik korupsi. 

“Biasanya sebuah proses kebijakan yang inkonsisten kemudian anggaran yang berubah-rubah, lalu ada pembengkakan dalam analisis politik dan banyak perspektif tentang studi korupsi, itu menunjukkan ada indikator kuat tanda-tanda korupsi di situ,” paparnya. 

Sekadar informasi, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh merupakan proyek strategis nasional yang digarap sejak 2016 dan resmi beroperasi pada Oktober 2023.

Nilai investasi proyek ini mencapai USD7,27 miliar atau setara Rp118,37 triliun dengan kurs Rp16.283 per USD. Angka ini sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar USD1,2 miliar.

Dari total investasi tersebut, sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB).

 

Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh digarap di bawah pengelolaan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Sebanyak 60% konsorsium itu dipegang oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan sisanya dimiliki konsorsium China Railway yang terdiri dari lima perusahaan.

PSBI terdiri dari PT Kereta Api Indonesia yang menguasai saham mayoritas sebesar 58,5%, disusul PT Wijaya Karya 33,4%, PT Jasa Marga 7,1%, dan PT Perkebunan Nusantara VIII sebesar 1,03%.

Pada 2024, PSBI mencatat kerugian sekitar Rp4,2 triliun dan hingga saat ini masih terus berlanjut.

Per semester I-2025, kerugian itu tercatat senilai Rp1,63 triliun. Adapun nilai rugi bersih PSBI yang dikontribusikan ke KAI mencapai Rp951,5 miliar per Juni 2025.

Selain beban utang, ada bunga utang yang harus diselesaikan. Dalam hitungan, besaran sekitar USD120,9 juta atau hampir Rp2 triliun per tahun.

Angka itu berdasarkan bunga tahunan untuk utang pokok sebesar USD6,02 miliar sebesar 2% dan bunga untuk pembengkakan biaya (cost overrun) mencapai 3,4% per tahun.
 

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement