Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Darmin Nasution dan Misi BI

Koran SI , Jurnalis-Kamis, 29 Juli 2010 |09:03 WIB
Darmin Nasution dan Misi BI
Gubernur BI Terpilih Darmin Nasution. Foto: Candra Setya/okezone.com
A
A
A

Pekan lalu, tepatnya 22 Juli 2010, DPR RI (lewat Komisi XI) secara aklamasi menyetujui Darmin Nasution (DN) sebagai Gubernur BI.

Walaupun proses fit and proper test itu diakhiri secara aklamasi, sebetulnya dinamika di balik proses itu sangatlah keras.

Bahkan, pada hari pertama fit and proper test (21 Juli 2010), aroma penolakan DN masih tercium sangat tajam. Isu penolakan itu tentu bersumber dari beberapa soal yang dianggap terkait dengan DN di masa lalu, antara lain kasus pajak (saat dia menjabat sebagai Dirjen Pajak) dan Bank Century.

Dalam kasus Bank Century, nama DN dimasukkan oleh Pansus Century DPR sebagai salah satu aktor yang dipandang turut bertanggung jawab dalam proses pengambilan keputusan.

Itulah yang menyebabkan sebagian politisi mengambil posisi di-seting opinion untuk menyetujui DN. Namun, “drama” itu akhirnya berujung dengan penerimaan secara aklamasi sehingga DN secara formal akan segera menduduki jabatan sebagai Gubernur BI.

Misi BI

Pemilihan Gubernur BI saat ini mendapatkan atensi yang besar dari publik karena terdapat riak-riak politik yang cukup panas dalam dua tahun terakhir. Jadi, wajar jika pertimbangan politis banyak berseliweran dalam pemilihan kali ini.

Namun, karena secara fungsional BI harus memerankan diri sebagai pengendali moneter, figur Gubernur BI pun secara objektif harus memenuhi unsur sebagai individu yang memiliki kredibilitas penjaga gawang otoritas moneter.

Apalagi, harus disadari saat ini begitu banyak pekerjaan rumah di sektor moneter yang harus diselesaikan sebagai jalan keluar untuk menggerakkan sektor lain (baca: sektor riil).

Di sini setidaknya terdapat tiga tugas penting yang harus turut diurus BI: (i) mencari sumber selisih jalan (decoupling) antara sektor finansial dan sektor riil; (ii) mendesain kelembagaan yang membuat sektor perbankan ramah terhadap pelaku usaha,khususnya UMKM; dan (iii) memanfaatkan independensi BI sebagai instrumen melakukan tindakan pemihakan (affirmative action).

Di media ini, sekira dua tahun lalu saya nyatakan bahwa keterpisahan antara sektor finansial dan sektor riil disebabkan adanya pergeseran misi sektor perbankan dari semula sebagai lembaga penopang sektor riil (institusi intermediasi) menjadi unit pencari rente.

Dugaan bahwa sektor riil lesu sehingga perbankan memiliki risiko yang tinggi untuk menyalurkan pinjaman dalam banyak kasus tidak terbukti kebenarannya. Kenyataannya, perbankan lebih banyak tidak mau keluar “keringat” untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang prospektif sekaligus melakukan monitoring sehingga layak diberi kredit.

Sektor perbankan justru menempatkan sebagian DPK (dana pihak ketiga) ke dalam instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) atau jual beli valuta asing (valas).

Belum lagi keengganan perbankan untuk menurunkan bunga kreditnya. Seluruh perilaku itu membuat fungsi perbankan tidak lebih sebagai spekulan yang jelas tidak berdampak terhadap pergerakan sektor riil sehingga menggeser fungsi paling elementer sektor perbankan.

Misi lain, 99,9 persen jenis usaha di Indonesia adalah sektor UMKM, tapi hingga kini mereka hanya menyerap sekira 50 persen dari total kredit perbankan.

Data lain, UMKM yang memiliki akses terhadap perbankan cuma 25 persen sehingga sebagian besar lain (75 persen) tidak bankable. Di sini, prioritas tentu saja kepada aksesnya, bukan soal besar kecilnya proporsi kredit yang dapat diberikan kepada UMKM.

Soal ini tentu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada dunia perbankan, tapi secara sistematis BI harus mendesain aturan main yang membuat sektor perbankan ramah terhadap UMKM. Saya kira jika BI dapat memasuki wilayah ini secara sistematis, dampak terhadap perekonomian akan sangat cepat.

Regulasi yang memberikan insentif kepada perbankan agar mau menyapa pelaku skala kecil sangat dibutuhkan sehingga yang diperlukan sesungguhnya hanyalah aturan main dan mekanisme sehingga perbankan berjalan sesuai dengan panduan regulasi tersebut. Pola inilah yang selama ini kurang optimal dijalankan oleh BI.

Neraca DN

Dalam beberapa aspek, figur DN cocok dengan kebutuhan yang diminta publik terhadap BI. Pertama, DN adalah orang yang lama berkecimpung di otoritas fiskal sehingga sangat paham dengan dunia sektor riil.

Sudah sangat lama kita tidak memiliki Gubernur BI yang paham dan punya komitmen terhadap pengembangan sektor riil sehingga peluang ini dapat dimanfaatkan DN untuk memberi warna baru dalam mendesain kebijakan BI.

Di sini, tentu saja tidak lantas menganggap stabilitas sektor keuangan sebagai hal yang kurang penting. Intinya, kita harus menempatkan stabilitas sektor keuangan sebagai syarat untuk menggerakkan sektor riil.

Selama ini yang terjadi adalah target stabilitas keuangan semata-mata untuk stabilitas itu sendiri dan bukan dimaksudkan untukmelangkahke arahyanglebih jauh, yakni memperkuat kinerja sektor riil.

Inilah yang menyebabkan terjadinya selisih jalan itu di mana sektor keuangan berkembang pesat, tapi sektor riilnya berjalan terengah-engah.

Kedua, setuju atau tidak setuju, sejak kasus Century menjadi masalah nasional dan BI dianggap sebagai terdakwa utama atas kasus tersebut, kredibilitas BI merosot tajam. Pada situasi seperti ini, orang luar BI dipandang bisa relatif cepat mengangkat kredibilitas tersebut ketimbang pejabat karier BI.

Figur DN memenuhi kriteria tersebut meskipun di balik itu masih dipersoalkan beberapa rekam jejaknya (seperti yang telah disinggung di muka).

Dengan demikian, secara normatif neraca yang dibawa DN masih menghasilkan surplus dibandingkan bila figur BI diisi orang dalam BI (dalam konteks perbaikan citra BI). Beban itu sebetulnya sudah dilakukan DN kurang lebih setahun ini ketika dia menjabat sebagai pejabat sementara Gubernur BI.

Hasilnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, DN mampu mengawal BI melewati situasi krisis ekonomi maupun memulihkan sebagian citra BI yang sempat anjlok. Tentu saja DN masih harus lebih banyak lagi menguras pikirannya di hari-hari mendatang dalam soal ini.

Selebihnya, DN harus dapat menjawab misi dari ketiga aspek di muka, yakni penguatan UMKM, mencari jalan agar sektor keuangan menjadi pelayan yang baik bagi pengembangan sektor riil, dan pemihakan yang lebih tegas terhadap kelompok ekonomi yang selama ini terpinggirkan.

Misi itu tentu tidak harus mengorbankan tugas inti BI, yakni menjaga stabilitas moneter yang diukur dari pengendalian inflasi dan nilai tukar. Selanjutnya, ke depan mungkin perlu dipikirkan lagi mengenai tugas utama BI tersebut karena fungsi pokok itu dirasa kurang kontekstual dengan persoalan ekonomi nasional.

Misi pengendalian inflasi dan nilai tukar kerap berbenturan dengan target-target lain yang juga penting seperti pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Bahkan, BI tidak dapat bersikap tegas dalam soal SBI karena alasan demi menjaga inflasi dan nilai tukar tersebut meskipun BI harus berdarah-darah membiayai bunga SBI yang relatif besar (6,5 persen).

Itulah poin-poin yang mesti diperjuangkan oleh DN demi memandu BI sebagai institusi yang betul-betul mengabdi pada kepentingan ekonomi nasional.(*)

Ahmad Erani Yustika
Direktur Eksekutif Indef Ekonom Universitas Brawijaya

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement