JAKARTA - Pemerintah dinilai lebih baik menetapkan besaran subsidi BBM secara tetap sebesar Rp2.000 per liter ketimbang menaikan harga menjadi Rp6.000 per liter.
"Waktu saya jadi ketua badan anggaran dulu, saya usulkan begitu juga. Subsidi tetap saja 30 persen dari harga keekonomian, tetapi waktu itu pemerintah tidak setuju," ungkap Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz ketika dihubungi okezone, Rabu (29/2/2012).
Harry menilai, dengan memberikan subsidi tetap, harga BBM di pasar akan berfluktuasi setiap waktu sehingga masyarakat akan terbiasa.
"Kalau Indonesian Crude Price (ICP) naik, BBM naik, kalau turun (ICP) BBM turun. Itu lebih baik karena permanen. Kemiskinan dan inflasi lebih terjaga, karena sudah biasa (naik dan turun)," lanjut dia.
Dengan menerapkan pola subsidi BBM tetap sebesar Rp2.000 per liter di tingkat harga berapapun, pemerintah juga tidak akan terlalu sering tergopoh-gopoh membongkar pasang APBN seperti yang dilakukan saat ini.
"APBN tidak akan terganggu, begitu kuota habis, maka tidak boleh ada lagi penambahan kuota. Tinggal mengikuti besaran subsidi saja," tambah angggota DPR dari Fraksi Golkar ini.
Sebelumnya, Dirjen Migas ESDM Evita Legowo dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII kemarin cenderung memilih penetapan subsidi tetap sebesar Rp2.000 dibandingkan naik Rp1.500 per liter untuk BBM jenis premium dan solar.
Dari hasil kajian bersama Universitas Indonesia, pemerintah mendata bahwa menaikkan harga BBM subsidi sebesar Rp2.000 per liter akan menambah inflasi sekira 2,86 persen. Sedangkan penetapan besaran subsidi tetap hanya akan menambah inflasi 2,4 persen. "Subsidi tetap sebesar Rp2.000 akan menambah kemiskinan 1,15 persen, kalau BBM naik pertambahannya 1,4 persen," komentar Evita kemarin.
(Widi Agustian)