MEDAN – Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara mencatat penurunan pada realisasi ekspor minyak atsiri (nilam) asal Sumatera Utara. Produk yang sempat menjadi primadona ini kini kurang diminati sehingga anjloknya harga komoditas ini dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir belum mampu meningkatkan kinerja ekspornya.
Kepala BPS Sumut Suharno menyebutkan, gagalnya penurunan harga mendorong ekspor minyak atsiri ini disebabkan karena sepinya permintaan dari importir di luar negeri seiring terjadinya krisis global. Realisasi ekspor produk ini pun bukan hanya menurun tapi melambat dari sisi pertumbuhan nilai ekspornya.
“Agustus 2012, realisasi ekspor minyak atsiri hanya USD5,303 juta dengan volume sekira 182 ton atau turun 22,28 persen dari bulan sebelumnya yang mencapai USD6,823 juta dengan volume 215 ton. Kalau secara year on year hingga Agustus 2012 juga menurun sebesar 18,82 persen dari USD 57,793 juta dengan volume 1496 ton menjadi USD46,917 juta dengan volume 1.578 ton,” ungkapnya, Selasa (23/10/2012).
Harga minyak atsiri saat ini dibanderol di kisaran Rp200 ribu-250 ribu per kilogram atau turun sekira Rp100 ribu dibandingkan periode sebelumnya yang berada di kisaran Rp300-350 ribu per kilogram.
Suharno menambahkan, terus menurunnya harga komoditas ini telah membuat banyak petaninya beralih ke komoditi lain yang harganya lebih bagus. Kondisi ini cuku ironis ditengah semakin menggeliatnya pasar kosmetik dalam negeri yang menggunakan minyak atsiri sebagai bahan bakunya.
“Agak mengherankan memang, ketika permintaan kosmetik meningkat, kita malah kehilangan devisa dari ekspor bahan baku pembuat kosmetik dan wangi-wangian. Padahal dulunya komoditas ini merupakan komoditas primadona yang digeluti banyak pengusaha besar, dan masyarakat pun ramai-ramai menanamnya. Selayaknya sawit saat ini lah,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Sumatera Utara M Roem ketika di konfirmasi mengaku penurunan produksi minyak atsiri dan penurunan realisasi serta nilai ekspor minyak atsiri tak sepenuhnya benar dan linier. Pasalnya saat ini Sumatera Utara justru kekurangan bahan baku. Bahkan minyak atsiri harus didatangkan dari wilayah Sumatera Barat yang merupakan sentra produksi minyak Atsiri di Pulau Sumatera.
“Kalau di Sumut penghasil minyak atsiri itu ada Dairi, Humbang Hasundutan, Nias dan beberapa daerah lainnya. Memang kita akui ada penurunan produksi karena petani yang beralih fungsi ke tanaman perkebunan. Tapi bukan serta merta produk minyak atsiri kita tidak laku. Karena faktanya, sekarang saja kita memasok dari luar untuk kebutuhan domestik. Meski jumlahnya tidak besar," tukasnya. (gna)
(Rani Hardjanti)