JAKARTA - Indonesia merupakan negara produsen keramik berglasur (berkilau) terbesar di dunia. Sehingga komoditas ini akan terus dikembangkan untuk dapat bersaing dengan produk dari negara lain.
"Indonesia merupakan negara produsen keramik berglasur terbesar di dunia. Bahkan China saja tidak dapat membuat keramik berglasur sekelas Indonesia," ujar ketua umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Widjaja, selepas acara Workshop Upaya Mendorong Industri Keramik sebagai Salah Satu Sektor Industri Unggulan dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, di Gedung BI Jakarta, Kamis (6/5/2010).
Hingga saat ini, pasar industri keramik berglasur masih tergarap kecil. Pasarnya saja masih tergarap 25 juta unit dari total pasar 330 juta unit.
Beruntung pemerintah memberikan proteksi berupa insentif kepada industri. Di antaranya insentif bea masuk sebesar 20 persen untuk tile dan sanitary yang tergolong sensitive list produk dalam ACFTA. Serta 30 persen untuk tableware yang tergolong highly sensitive list product. Lantas ada verifikasi impor dengan instrumen biaya USD400 per kontainer dan penghapusan PPN BM saniter sebesar 40 persen untuk mendorong produksi dan pasar saniter lokal.
Menteri Perindustrian MS Hidayat meminta kalangan perbankan untuk mengurangi risiko terhadap sektor keramik. Sehingga pihak perbankan mau mengucurkan kreditnya ke sektor tersebut. "Hingga saat ini industri keramik sebagian besar untuk keperluan domestik, sisanya sebesar 20 persen untuk ekspor," jelas MS Hidayat.
Padahal, peran dari sektor industri keramik sendiri terhadap perekonomian nasional juga relatif diperhitungkan. Industri keramik biasanya mengalami pertumbuhan rata-rata enam persen setiap tahun. Lantas juga mengontribusikan kenaikan devisa mencapai USD220 juta pada 2008, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar USD212 juta. Begitu juga dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih dari 200 ribu orang.
Dengan peluang tersebut, maka pihaknya akan meningkatkan sektor-sektor produktif dan berusaha agar memperoleh pinjaman perbankan. Pasalnya, pihak perbankan sendiri masih menganggap sektor keramik merupakan sektor yang masih berisiko tinggi.
Selain itu, industri keramik lokal masih mengalami kendala. Di antaranya persaingan dari China, pasokan gas alam sebagai bahan bakar keramik, harga gas alam yang masih dipatok dalam USD dan pasokan energi listrik yang terganggu.
Selama ini pula, perbankan masih memberikan bunga kredit ke sektor ini sebesar 11,5 persen. Itupun hanya untuk debitur yang memiliki usaha prospektif. "Seharusnya perbankan bisa menurunkan bunganya lebih kecil dari 11,5 persen. Itu baru kooperatif," pungkas Hidayat.
(Candra Setya Santoso)