SURABAYA - Anjlok harga garam dipengaruhi oleh tata niaga yang masih amburadul. Petani garam pun banyak yang mengeluh dengan masuknya garam impor sebagai garam konsumsi. Solusinya adalah pemerintah membuat tata niaga garam yang jelas dan berpihak kepada masyarakat kecil.
Demikian disampaikan Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jatim M Hasan. Menurutnya, upaya pemerintah untuk menghidupkan lagi PN Garam tidak begitu buruk. Namun yang perlu diperhatikan adalah mengelola tata niaga garam.
"Syukur-syukur kalau PT Garam yang ada saat ini menjadi lembaga seperti Bulog. Artinya, ada hubungan saling menguntungkan antara petani garam dan pemerintah," kata Hasan di Surabaya, Jumat (21/9/2012).
Ia mengatakan, saat ini PT Garam memiliki lahan seluas 5.700 hektare (ha) dan lahan milik petani seluas 7.200 ha. Dengan PT Garam menjadi Bulog maka lahan tersebut dikelola oleh petani dan bisa memberikan kontribusi kepada negara. Selain itu, Bulog khusus garam ini nantinya bisa meminimlisir masuknya garam impor kedalam garam konsumsi.
Kondisi saat ini, dalam hal produksi, PT Garam tidak maksimal. Dengan teknologi seadanya, petani garam mampu memproduksi garam sebanyak 100 ton hingga 150 ton per hektar. Sedangkan PT Garam dengan luas yang sama hanya mampu memproduksi 40 ton saja.
Ia menjelaskan, ada dua keuntungan ketika PT Garam menjadi Bulog Garam. Pemerintah dapat melindungi dan mensejahterakan para petani garam. Artinya, dari produksi yang ada maka petani dapat memberikan kontribusi kepada negara. Sedangkan Bulog yang dibentuk melindungi tata niaga garam. Dan ketika PT Garam menjadi Bulog, lahan yang ada hak garapnya diserahkan kepada petani.
"Ketika menjadi Bulog, PT Garam tidak perlu lagi bertani. Mereka cukup mengatur tata niaga dan memberdayakan masyarakat," ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan, dengan adanya tata niaga tersebut, pemerintah dapat melakukan stabilisasi harga. Kondisi harga garam saat ini sangat merugikan petani. Untuk Garam Kualitas (KW) dua sebesar Rp300 ribu per ton dan KW1 Rp450 ribu per ton. Jumlah tersebut tidak bisa menuntup ongkos produksi yang dikeluarkan petani.
"Idealnya adalah Rp550 ribu per ton untuk KW 2 dan Rp750 ribu per ton untuk KW 1," tandasnya.