JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, fluktuasi nilai tukar Rupiah yang terus tertekan hampir ke level Rp14.000 per USD tidak akan memberi pengaruh besar bagi korporasi.
Sebab, kata Agus, sejak 2015 Bank Sentral telah mencanangkan penggunaan lindung nilai atau hedging bagi perusahaan yang melakukan pinjaman luar negeri. Adapun hedging adalah strategi untuk melindungi dana pinjaman dari fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak menguntungkan.
Baca Juga : Rupiah Merosot dan IHSG Makin Terjungkal, Kok Bisa?
"Kita melihat nilai tukar sekarang ini, Indonesia tidaklah sebegitu besar ketergantungan korporasi yang punya pinjaman valas. Karena sejak 2015 Bank Indonesia sudah mengeluarkan regulasi kehati-hatian yang meminta korporasi pinjaman luar negeri harus melalui prinsip kehati-hatian dengan lindung nilainya," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Tindakan hedging yang dilakukan korporasi membuat kondisi keuangan perusahaan tersebut lebih sehat saat terjadi fluktuasi mata uang. Hal ini bahkan membuat resiko yang ditempuh perusahaan juga lebih rendah.
"Kita sudah punya perusahaan yang jauh lebih sehat, yang tidak menjadi beresiko terhadap nilai tukar karena dia sudah lebih patuh melakukan hedging," katanya.
Agus menjelaskan BI tak menetapkan batas aman dari nilai tukar Rupiah. Namun, pihaknya pihaknya akan selalu berada di pasar menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Lakukan intervensi baik di valuta asing maupun SBN (Surat Berharga Negara) guna meminimalkan depresiasi yang yang terlalu cepat dan berlebihan.
Baca Juga : BI: Stabilitas Ekonomi Mampu Menahan Pelemahan Rupiah
"Bank Indonesia tidak menargetkan nilai tukar tertentu tapi menjaga sesuai fundamental ekonomi Indonesia. Jika depresiasi, Bank Indonesia disiplin dan konsisten menganut fleksibel exchange switch," pungkasnya.
(feb)