JAKARTA – Kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate (BI 7-DRR) menjadi 6% dinilai sebagai upaya untuk menenangkan pasar dan mempertahankan momentum menguatnya rupiah.
Lebih jauh lagi, langkah tersebut memungkinkan untuk menarik kembali investasi portofolio yang sebelumnya sempat keluar dari pasar uang Indonesia.
“Kenaikan BI 7-DRR ini meskipun tidak akan mendorong penetrasi pasar kredit tapi dapat menarik investor ke pasar uang di dalam negeri sehingga memantapkan kestabilan,” ujar pengamat ekonomi dari UGM Muhammad Edhie Purnawan saat dihubungi kemarin.
Baca Juga: Rupiah Mengalami Depresiasi 10,1% hingga November 2018
Menurutnya, hingga saat ini Bank Indonesia (BI) masih melakukan kebijakan moneter yang konsisten, preemptive, dan strategi front loading yang bisa di maklumi. “Ini juga untuk merespons Amerika Serikat (AS) yang mulai menormalisasi kebijakan moneternya,” kata dia.
Pada perdagangan kemarin, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) nilai tukar rupiah menguat dan berada di posisi Rp14.594 per dolar AS (USD). Sebagai perbandingan, sehari sebelumnya, Kamis(15/11) nilai tukar rupiah berada di level Rp14.764 per USD.
Di kalangan perbankan, kebijakan BI yang mengerek suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 6%, dinilai cukup tepat setelah melihat kondisi saat ini. Menurut Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo, keputusan kenaikan BI 7-DRR membuktikan bahwa BI selalu tanggap dan prudent dalam menyikapi perubahan cuaca ekonomi global.
“Likuiditas cukup memadai dan bank saat ini mempunyai tren peningkatan pertumbuhan kredit seserapan penurunan non-performing loan (NPL),” ujar Kartika saat dihubungi wartawan kemarin. Menurutnya, dari sisi net interest margin (NIM), perbankan juga akan berangsur-angsur turun kendati secara rata-rata masih akan berada di kisaran 5%.
Baca Juga: Bank Indonesia : Rupiah Terdepresiasi 8,25%
Pendapat berbeda disampaikan Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. Menurutnya, BI sebenarnya tidak perlu kembali menaikkan bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur, Kamis (15/11) lalu.
Pasalnya saat ini kondisi pasar cukup tenang, bahkan rupiah sempat menguat. “Jadi, suku bunga belum perlu naik. Justru yang perlu diantisipasi adalah rencana ke naikan suku bunga The Fed (Bank Sentral AS) Desember mendatang. Jika memang terjadi kenaikan suku bunga di sana, BI perlu menyesuaikan,” katanya.
Dia menambahkan, apabila BI menyesuaikan kembali bunga acuannya untuk merespons kebijakan The Fed, BCA akan mempertimbangkan untuk menaikkan bunga deposito. “Kalau kami rasakan perlu naik ya deposito kami naikkan. Kalau funding cukup, likuiditas masih banyak ya tidak perlu naik juga,” ujar dia. Menurutnya, saat BI menaikkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps), BCA juga turut menyesuaikan suku bunga deposito hingga 125 bps dan suku bunga kredit 50 bps.
Kalangan pasar modal juga menyambut baik naiknya suku bunga acuan BI sebesar 0,25% menjadi 6%. Hal ini dinilai cukup baik sehingga memberikan sentimen positif terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG).
Kemarin, IHSG menguat 56,61 poin atau (0,95%) ke level 6.012,3 dengan jumlah kapitalisasi pasar men capai Rp6.800 triliun, naik dibanding sehari sebelumnya Rp6.736 triliun. “Kemarin (Kamis,15/11) BI menaikkan suku bunga.
Indeks (IHSG) alhamdulillah meningkat cukup signifikan,” kata Direktur Utama BEI Inarno Djajadi saat media gathering bersama wartawan Pasar Modal 2018 di Solo, Jawa Tengah, kemarin. Dia menambahkan, pada dasarnya kenaikan suku bunga sudah diantisipasi pelaku pasar saham.
Terlebih lagi menurut pemaparan Gubernur BI masih ada ruang kenaikan suku bunga acuan. Sementara itu Global Head of Currency Strategy & Market Research FXTM Jameel Ahmad mengungkapkan, saat ini momentum beli rupiah menguat setelah BI memberi kejutan dengan meningkatkan suku bunga untuk keenam kalinya di tahun ini.
(Kunthi Fahmar Sandy/Hafid Fuad)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)