Chatib Basri: Tekanan Ekonomi 2018 Lebih Berat Dibanding 2013

Yohana Artha Uly, Jurnalis
Selasa 22 Januari 2019 16:04 WIB
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri (Foto: Yohana/Okezone)
Share :

JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengungkapkan, tekanan ekonomi di 2018 sangat berat. Kondisinya berbeda dari tahun 2013, saat dia menjadi Menteri Keuangan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dia menjelaskan, pada tahun 2013 kepemimpinannya sebagai Bendahara Negara dihadapi dengan sinyal Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang akan melakukan pengetatan moneter. Kondisi ini langsung memukul kurs mata uang sejumlah negara berkembang, atau dikenal terjadi taper tantrum yakni efeknya langsung muncul walaupun tindakan kebijakan moneter belum dilakukan.

"Pada waktu 2013 itu penyebabnya hanya satu karena AS mau kembali naikkan suku bunga acuan, itu single problem. Kalau AS naikkan bunga, (investasi) orang pindah ke sana," kata dia dalam diskusi ekonomi di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (22/1/2019).

Baca Juga: Indonesia Masuk Kelompok Negara Miskin? Ini Kata Mantan Menkeu

Sementara itu, di tahun 2018, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kondisi ekonomi diperhadapkan beberapa tekanan yakni kenaikan suku bunga acuan The Fed dan perang dagang antara AS dan China.

"Tahun 2018 itu berat sekali, karena tekanannya itu (selain kenaikan suku bunga acuan The Fed) di kombinasi juga dengan perang dagang.

Tahun 2013 juga yang berat itu harga minyak mentah yang naik, tapi di 2018 selain harga minyak naik, ada perang dagang dan ketidakpastian dari kebijakan Trump," paparnya.

Dalam kondisi demikian, Chatib menilai Sri Mulyani mampu mengelola keuangan negara dengan baik. Menurutnya, bila pengelolaan fiskal tidak tepat maka kurs Rupiah semakin terpukul dalam karena penguatan Dolar AS.

"Prestasinya sangat baik (Sri Mulyani), seandainya fiskal agak terlambat dilakukan penyesuaian, itu Rupiah bisa lebih dari Rp15.200 per USD. Jadi yang dilakukan pemerintah sampai defisitnya (APBN) hanya 1,76% (dari PDB di 2018) itu luar biasa sekali," kata dia.

Chatib berkisah, pada tahun 2013 ketika dirinya menghadapi gejolak ekonomi global maka dengan terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Langkah itu diambil untuk menjaga kesehatan APBN.

"Saya waktu itu terpaksa harus naikkan BBM untuk jaga budget. Pertumbuhan ekonomi dari 6,1% jadi 5,8%. Tapi di tahun ini tetap bertahan di 5,1%-5,2%, jadi pertumbuhan ekonominya stabil dengan kondisi (ekonomi global) seperti itu. Saya apresiasi yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia," ungkapnya.

Sementara itu, Sri Mulyani menambahkan, pada tahun 2013 memang terjadi taper tantrum karena sinyal kebijakan The Fed. Hal itu tentu membuat pemerintah melakukan penyesuaian fiskal, yang berdampak pada peningkatan defisit APBN dan penurunan pertumbuhan ekonomi.

Berbeda pada masa kini, di mana suku bunga acuan The Fed sudah mengalami kenaikan, yang membuat BI harus melakukan penyesuaian kebijakan moneter. Meski demikian, ekonomi dinilai cukup terjaga sebab tetap tumbuh di kisaran 5%.

"Saat ini tidak dalam kondisi taper tantrum, tapi menghadapi suku bunga AS yang sudah benar-benar naik, sudah empat kali. Oleh karena itu, BI mengikuti atau defense dengan naikkan suku bunga BI tujuh kali. Tapi ekonomi tetap tumbuh di 5,1% dan defisit kita bukannya naik tapi malah turun. Jadi ini pertumbuhan ekonomi tetap terjaga walaupun ada guncangan," papar dia di kesempatan yang sama.

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya