Mengenai demonstrasi para pekerja, Silmy mengatakan bahwa program restrukturisasi dan transformasi memang tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. Akan tetapi, manajemen menjamin program ini dilakukan sesuai dengan aturan perundangan.
“Jadi tidak benar ada PHK massal kepada karyawan Krakatau Steel. Restrukturisasi organisasi tidak selalu identik dengan pemutusan hubungan kerja, ada banyak cara dalam perampingan struktur organi sasi,” jamin Silmy.
Dia menambahkan, manajemen terus mengupayakan komunikasi yang harmonis dengan para pemangku kepentingan terkait, khususnya serikat dan karyawan, pemerintah pusat maupun daerah, Kementerian BUMN, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam men jalankan program restrukturi sasi ini.
Silmy menambahkan bahwa program ini perlu dilakukan guna menyelamatkan produsen baja nasional yang memiliki aspek strategis dalam pembangunan ekonomi nasional ini, sebagai tulang punggungin dustri dan pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan di Indonesia.
“Selain itu, diharapkan dengan program ini Krakatau Steel akan lebih lincah dalam pengem bangan bisnis dan pasarnya di masa mendatang,” ucapnya. Bisnis baja di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan berat.
Masuknya baja impor dari China ditengarai menjadi penyebabnya. Data Kementerian Perdagangan pada awal tahun ini menyebutkan, kebutuhan impor baja Indonesia mengalami peningkatan 55% dari semula 52% guna memenuhi kebutuhan baja nasional sebanyak 14,2 juta ton pada 2018.
Pengamat ekonomi dari Center of Reform and Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, dilihat dari perkembangannya, industri baja dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain harga energi, permintaan, dan pasokan global.
Dari sisi global, pada 2013 China sebagai salah satu produsen baja terbesar di dunia mengalami over supply sehingga harga baja global mengalami penurunan. Menurut Yusuf, karena kelebihan produksi, baja China kemudian diekspor ke negara-negaraAsia, termasuk Indonesia.
Akibatnya, produsen baja Indonesia, termasuk Krakatau Steel, harus bersaing dengan produk impor baja dari China. “Itulah yang menyebabkan pertumbuhan konsumsi baja nasional tidak diimbangi dengan pertumbuhan industri baja nasional. Karena industri baja merupa kan industri yang mahal, maka diperlukan investasi yang tidak sedikit,” ujarnya.
Pemerintah sudah mengambil langkah tepat untuk memberikan insentif bebas pajak untuk industri baja, namun hal itu tidak bisa berdiri sendiri.
“Solusinya tidak bisa parsial, untuk menyelamatkan Krakatau Steel, pemerintah juga bisa menempuh cara penyertaan modal negara melalui APBN,” katanya. Di samping itu, kata Yusuf, komponen pendukung seperti harga energi, gas, dan pasar juga menjadi unsur penting.