Anggota Komisi V DPR yang membidangi sektor transportasi Muhidin M Said mengatakan pemerintah perlu mengembangkan lebih dulu konektivitas moda transportasi di kota-kota besar dengan tingkat kemacetan tinggi sebelum menerapkan O-Bahn di sana.
“Jadi jangan terburu-buru. Disiapkan dulu infrastruktur integrasi berbagai moda transportasi massalnya. Kalau sudah ada, baru O-Bahn bisa diterapkan,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa konsep O-Bahn banyak berhasil di Australia. Keberhasilan tersebut tak lepas dari konektivitas transportasi di Negeri Kanguru itu.
Baca juga: Kemenhub: Indonesia Belum Batasi Usia Kendaraan Pribadi
Direktur Jenderal Perhubung an Darat Kementerian Per hubungan Budi Setiyadi meng akui, O-Bahn akan diterapkan di kota-kota besar di luar Jabodetabek. Untuk mewujudkan hal itu perlu komitmen tinggi dari pemerintah daerah mengenai kebijakan maupun anggarannya. Pemerintah pusat cukup mengawasi. Soal kapasitas dan target jumlah penumpang sepenuhnya adalah kewenangan pemda.
“Yang penting memang penyediaan aksesibilitas dan konektivitas transportasi,” sebut Budi.
Budi menambahkan, konsep O-Bahn paling cocok diterapkan di kota-kota yang memiliki konsep aglomerasi seperti Yogyakarta yang dekat dengan Klaten, Magelang serta Purworejo.
Baca juga: Pengoperasian Bus Listrik Transjakarta Tunggu Perpres
Dia memaparkan, dalam O-Bahn, pengoperasian bus dapat masuk ke jalur khusus seperti rel kereta. Dapat dikatakan O-Bahn adalah kombinasi bus dan trem. Lebar perkerasan jalur khu sus bus terpandu ini sekitar 2 meter, sedangkan lebar ja lur lalu lintas di jalan berkisar 300-350 cm.
Selain bisa menggu na kan bus gandeng, moda angkutan ini dapat menggandeng dua atau tiga bus biasa atau dua bus gandeng menjadi satu rang kai an sehingga tidak ada lagi jarak (head way).
Dua atau tiga bus ber fungsi seperti trem. Kele bih an ini memberi keuntungan tambahan karena penyedia jasa pada jam sibuk hanya perlu menambahkan bus dan tidak perlu menambah penge mudi.
(Fakhri Rezy)