41 Smelter Siap Beroperasi 2022

Koran SINDO, Jurnalis
Selasa 09 Juli 2019 10:40 WIB
Smelter (Reuters)
Share :

JAKARTA – Pemerintah terus berupaya meningkatkan program hilirisasi sektor pertambangan. Rencananya hingga 2022 mendatang akan ada 41 fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral dan batu bara (minerba) mulai beroperasi.

“Total itu nanti akan ada 41 smelter beroperasi pada 2022 mendatang. Harapannya dapat menghasilkan produk setengah jadi dari tembaga, nikel, alumi - na, besi, timah, emas, dan perak,” ujar Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Ge - dung DPR, Jakarta, kemarin.

 Baca juga: Kebut Pengerjaan Smelter, KESDM Targetkan 2022 Ekspor Barang Setengah Jadi

Menurut dia, dari 41 smelter ter sebut didominasi oleh pengolahan produk nikel sebanyak 22 pabrik. Sedangkan yang lain dari bauksit 6 smelter, besi 4 smelter, timbal dan seng 4 smelter, tembaga dan lumpur anoda masing-masing dua smelter, serta mangan satu smelter.

Dengan beroperasinya seluruh smel ter tersebut, katanya, di ha - rap kan ekspor raw material (ore/ bijih) bisa dihentikan. Adapun saat ini telah beroperasi secara komersial 20 smelter di dalam negeri di antaranya smelter tembaga, nikel, bauksit, besi, dan mangan.

“Untuk smelter tembaga, nikel, dan bauksit cukup untuk me menuhi kebutuhan di dalam ne geri. Saat ini yang dibutuhkan ialah membangun smelter besi,” kata dia.

Pada kesempatan sama, Direktur Mineral pada Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menyebut kan, untuk tahun ini akan ada tiga smelter feronikel yang akan beroperasi.

 Baca juga: Smelter Amman Mineral di Sumbawa Barat Beroperasi 2023

Ketiga smelter tersebut, antara lain smelter Antam di Tanjung Buli, Halmahera Timur dengan kapasitas 1 juta ton; smelter di Pulau Obi, Hal mahera Selatan dibangun oleh PT Wanatiara Persada de - ngan kapasitas 2 juta ton per tahun; dan smelter di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, berkapasitas 900.000 ton per tahun dibangun oleh Bintang Smel ter Indonesia. “Di Konawe su dah beroperasi awal tahun. Un tuk Antam dan Wanatiara tar getnya Agustus tahun ini,” kata dia.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Tamsil Linrung mendesak program hilirisasi di sektor minerba harus mampu bergerak lebih cepat. Pasalnya, masih banyak raw material yang harus di ekspor daripada diserap di dalam negeri.

Pihaknya meyakini jika hilirisasi efektif dapat mendongkrak perekonomian, meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan lapangan kerja.

 Baca juga: Smelter Nikel Senilai USD1 Miliar Beroperasi di Konawe

“Pemerintah perlu upaya optimal menjalankan program hilirisasi khususnya pem ba ngunan smelter. Perlu upaya maksimal sehingga ke depan larangan ekspor raw material bisa dijalankan untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri,” kata dia.

Sementara itu, Pelaksana tugas harian Direktur Eksekutif Aso siasi Pertambangan Indo - ne sia (Indonesian Mining Associa tion/IMA) Djoko Widajatno mengatakan, hilirisasi minerba sudah berjalan dengan dibangun nya sejumlah fasilitas dan pemurnian. Meski begitu, belum mampu menghasilkan produk jadi secara maksimal.

“Pengusaha melihat, sesuai amanat UU Minerba sudah dijalankan. Perlu peran dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk memaksmalkan produk setengah jadi yang diolah dari smelter,” kata dia.

Dia mengatakan, produk yang dihasilkan dari hilirisasi sektor minerba baru sebatas produksi logam, tapi belum menghasilkan produk jadi yang bisa dimanfaatkan untuk kegiat an industri. Bahkan, memproduksi jarum suntik saja belum mampu sehingga masih me ngandalkan impor.

“Kami su dah berusaha menyediakan ba han baku yang disediakan. Kita bisa buat feronikel, tapi untuk buat jarum suntik saja belum mampu,” kata dia.

Untuk itu, katanya, Kemenperin perlu menggenjot pembangunan industri berbasis logam sehingga hilirisasi produk berjalan optimal.

“Sampai hari ini baru produk setengah jadi, tapi kita impikan produk jadi seperti mobil, handphone dibuat di dalam negeri,” katanya.

Butuh Insentif

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, butuh terobosan untuk melaksanakan program hilirisasi di sektor minerba. Adapun terobosan itu di antaranya kebutuhan insentif fiskal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).


“Kami dari industri hilir membutuhkan insentif fiskal karena pemerintah pasti mendapatkan pajak dan kenaikan PPn (Pa jak Pertambahan Nilai) atau PPh (Pajak Penghasilan) jauh lebih besar dari objek produk hilirnya,” kata dia.

Tidak hanya itu, kebutuhan material secara berkesinambungan juga harus mampu dipenuhi dari dalam negeri. Budi berharap produksi bahan baku mineral tidak banyak diekspor keluar negeri, sebab untuk mendukung hilirisasi minerba dibutuhkan bahan baku yang tidak sedikit.

“Misalnya saja komoditas nikel itu sekarang kita ekspor mendekati 3 juta ton per tahun. Padahal kalau mau bangun pabrik stainless setel kebutuhannya mencapai 5 juta ton,” kata dia.

Masalah serupa tak hanya dari komoditas nikel. Pihaknya menyebut pasokan batu bara jadi persoalan penting dalam menjalankan program hiliri sasi.

(Fakhri Rezy)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya