Virus Korona vs SARS, Mana Lebih Berbahaya bagi Ekonomi China?

Maylisda Frisca Elenor Solagracia, Jurnalis
Selasa 04 Februari 2020 15:45 WIB
China (Bloomberg)
Share :

JAKARTA - Virus korona kemungkinan memiliki dampak ekonomi yang lebih besar daripada pada saat wabah SARS terjadi. Hal ini diakibatkan ekonomi China sebelum wabah virus korona muncul ini tumbuh pesat dan ikatan komersialnya yang lebih dalam dengan Amerika Serikat (AS).

Seperti diketahui, ketika virus SARS melanda pada 2003, PDB China sebesar USD1,6 triliun. Saat ini, PDB China sekitar USD13 triliun.

 Baca juga: Redam Dampak Virus Korona di Perekonomian, Apa Efektif Pemangkasan Suku Bunga China?

Selama periode inilah, China menjadi pusat pertumbuhan bagi perusahaan-perusahaan AS yang mencari cara untuk meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa perusahaan AS, seperti perusahaan game Las Vegas Sands Corp, saat ini pengunjungnya di Macau menurun 80%. Mereka tidak beroperasi ketika SARS melanda pada tahun 2003.

Melansir Forbes pada Selasa (4/2/2020), perekonomian China adalah salah satu yang tumbuh tercepat di dunia. Maka dari itu, ada kekhawatiran perekonomian China terguncang akibat virus korona.

 Baca juga: Antisipasi Virus Korona, Bank Sentral China Turunkan Tingkat Suku Bunga ke 2,4%

China mengekspor lebih banyak barang saat ini daripada sebelumnya. Pada tahun 2018, China adalah pemasok barang terbesar Amerika Serikat, termasuk mesin listrik sebesar USD152 miliar setara Rp2.088 triliun (kurs Rp13.742 per USD), mesin sebesar USD117 miliar setara Rp1.607 triliun, furnitur dan tempat tidur sebesar USD35 miliar setara Rp408,98 triliun, mainan dan peralatan olahraga sebesar USD27 miliar setara Rp371,04 triliun, dan plastik sebesar USD19 miliar setara Rp261,10 triliun.

Selain itu, jumlah miliarder China meningkat. Jack Ma, yang baru-baru ini mengundurkan diri sebagai ketua Alibaba, adalah orang terkaya di sana dengan kekayaan bersih sebanyak USD42 miliar setara Rp577,32 triliun.

 Baca juga: Virus Korona Ditaksir Rugikan Ekonomi China Rp850,3 Triliun

Sektor pariwisata telah menjadi indikator utama kualitas hidup bagi meningkatnya populasi orang kaya di China. Hal ini diketahui dari semakin banyak orang China bepergian ke luar negeri untuk berlibur, menurut Nielsen.

Turis China menghabiskan rata-rata USD762 setara Rp10,47 juta per orang untuk berbelanja dalam perjalanan ke luar negeri terbaru mereka. Sementara turis non-China rata-rata menghabiskan sebesar USD486 setara Rp6,68 juta, menurut survei Nielsen pada 2017.

Di lain hal Starbucks mengumumkan telah menutup lebih dari setengah dari 4.100 tokonya di China akibat virus korona. H&M juga menutup setidaknya 45 toko dan menunda perjalanan bisnis di China. IKEA menutup setengah dari 30 tokonya di daratan China.

China adalah pasar Marriott terbesar di luar AS. Pada 2018, perusahaan ini bermitra dengan Alibaba. Perjanjian ini memungkinkan wisatawan China memesan hotel Marriott melalui situs web perjalanan Alibaba.

Awal pekan ini Marriott mengatakan, pihaknya membebaskan biaya pembatalan untuk masa inap hotel hingga 29 Februari 2020, untuk tamu dengan pemesanan di hotel-hotel di China daratan, Hong Kong, Makau, dan Taiwan. Hal ini juga tersedia untuk para tamu dari daratan China, Hong Kong SAR, Makau dan Taiwan yang bepergian ke tujuan Marriott lainnya secara global.

Pengunjung properti Las Vegas Sands di Makau turun sebesar 80% selama musim Tahun Baru Imlek akibat wabah virus korona yang menghantam wilayah tersebut.

(Fakhri Rezy)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya