JAKARTA – Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC pada abad ke-17 dan 18 diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah Batavia, yang kini bernama Jakarta. Keputusan itu berdasarkan hasil kesepakatan dari Parlemen Belanda pada tahun 1602.
Mengutip dari buku Robinhood Betawi karya Alwi Shahab, Senin (22/6/2020), VOC memegang kendali Pelabuhan Sunda Kelapa. Kompeni mengawasi kapal-kapal yang masuk pelabuhan. Dulu, melalui pintu gerbang ini, kapal yang melewatinya harus memberi ‘uang rokok’ atau pungli. Ini menandakan korupsi tidak pernah absen dari Jakarta.
Baca juga: Ketua OJK Blakblakan Cara Cepat Pulihkan Ekonomi
Balai Kota, yang kini menjadi museum sejarah DKI Jakarta, menjadi saksi bisu akan kekuasaan VOC atau kompeni selama dua abad, sebelum 31 Mei dinyatakan bangkrut dan dilikuidasi. VOC dianyatakan bangkrut akibat utang-utangnya yang menumpuk.
Saat dibubarkan pada 1811, setelah masa transisi 12 tahun, imperium yang pada awalnya memonopoli perdagangan dan distribusi rempah-rempah ini meninggalkan utang 140 juta gulden. Padahal, kata Dr Mona Lahonda, sejarawan yang juga dosen luar biasa sejarah pada Fakultas Sastra UI, kurs gulden saat itu lebih tinggi dari dolar. “Dolar belum punya arti apa-apa ketika itu,” kata Mona.
Bangkrutnya kongsi dagang ini tidak diperkirakan sebelumnya, mengingat ketika itu VOC bukan hanya menguasai perdagangan di nusantara, tapi juga jauh ke mancanegara. Dengan ratusan armadanya, imperium ini telah menjelajah dan memiliki pos-pos di Afrika Selatan, Jepang, Taiwan, Srilangka. Bahkan, sampai ke Selat Hormus, Malaka dan Filipina.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Indonesia Beruntung Ekonomi Belum Resesi
Ridwan Saidi, yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta dan juga para sejarawan Barat dan Belanda, menyatakan bangkrutnya VOC akibat korupsi besar-besaran mulai dari gubernur jenderal hingga aparat bawahannya.
Merasa datang dari tempat yang jauh dan hidup dalam pembuangan ke kota yang berat macam Batavia, sebagai kompensasinya mereka menjalani kehidupan yang sangat mewah. Tapi, karena gaji tidak mencukupi korupsi dan kolusi merupakan salah satu cara yang mereka tempuh.
Bayangkan, waktu itu untuk pergi ke luar rumah saja, seorang nyonya Belanda harus diiringi lima orang budak belian. Ada yang khusus untuk memayungi, membawa tempat sirih, tempolong dan tempat ludah, serta penggotong tandu. Budak-budak itu didatangkan dari Kepulauan Andaman, Malabar, Malaka, dan Goa dengan biaya yang sangat mahal.