Cuaca ekstrem menghancurkan pertanian
Saat Kim Jong-un mengeluarkan peringatan mengenai kelangkaan makanan, ia menyinggung dampak dari topan dan banjir pada panen tahun lalu.
April hingga September 2020 adalah periode paling basah dalam catatan sejarah sejak 1981, menurut laporan GEOGLAM, organisasi pemantau masalah pertanian yang berbasis di Paris.
Semenanjung Korea dihantam serangkaian topan, tiga di antaranya berlangsung selama dua pekan pada Agustus dan September. Periode ini bertepatan dengan masa dimulainya panen jagung dan padi.
Bahan makanan pokok menjadi langka pada bulan Juni, karena persediaan dari panen musim gugur sebelumnya mulai menipis, terutama jika panen memburuk.
Topan Hagupit terjadi pada awal Agustus, menjadi salah satu badai yang dilaporkan media pemerintah dengan kerusakan yang cukup rinci.
Dikatakan banjir telah menghancurkan 40.000 hektar lahan pertanian dan 16.680 rumah warga.
Pada peristiwa badai berikutnya, media pemerintah secara luas menghindari untuk memberikan lebih banyak informasi.
Dampak dari peristiwa alam ini telah diperburuk oleh deforestasi selama beberapa dekade terakhir.
Krisis ekonomi pada 1990an menyebabkan penebangan pohon secara luas untuk kebutuhan bahan bakar.
Meskipun terdapat kampanye untuk penanaman kembali, akan tetapi deforestasi berlanjut, mengundang bencana banjir yang semakin buruk.
Berdasarkan laporan yang dipublikasi Maret lalu oleh Global Forest Watch, sebanyak 27.500 hektar tutupan pohon telah hilang pada 2019. Jika diakumulasikan, terdapat 233.000 hektar tutupan pohon yang hilang sejak 2001.
Menurut blog 38 North, yang memantau Korea Utara, meskipun negara itu meningkatkan manajemen bencana, tapi masih tidak memadai.