Bagi negara-negara yang kondisi keuangan negaranya sudah rapuh karena sangat rentan mengalami krisis keuangan atau krisis utang.
Ada beberapa hal yang membuat negara terjerat utang. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan berbagai negara menyelamatkan ekonominya dengan menggunakan APBN masing-masing negara. Namun, setelah itu adanya lonjakan permintaan yang meningkat pesat karena mulai pulihnya ekonomi.
Dengan lonjakan permintaan membuat harga komoditas di dunia merangkak naik, hal ini diperparah dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada krisis pangan hingga energi yang berujung pada lonjakan inflasi.
Untuk mengantisipai lonjakan inflasi, bank-bank sentral di dunia termasuk Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bunga acuan. Saat ini suku bunga acuan BI sudah naikk menjadi 4,75 basis point (bps).
Dengan naiknya suku bunga acuan berdampak pada menguatnya dolar AS. Hal ini sudah terasa ketika Rupiah terpukul melemah hingga ke level Rp15.600-an per USD. Naiknya suku bunga acuan juga meningkatkan biaya utang.
"Menyebabkan penguatan dari dolar yang luar biasa. Ini menimbulkan dampak yang harus dilihat karena tekanannya sangat besar," ucapnya.
Lalu bagaimana dengan utang pemerintah Indonesia?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah mencapai Rp7.420,47 triliun hingga akhir September 2022.
Utang pemerintah ini naik Rp708,95 triliun atau 10,56% dibandingkan September 2021 yang sebesar Rp6.711,52 triliun.
Sementara jika dibandingkan Agustus 2022 sebesar Rp7.236,61 triliun, utang pemerintah ini naik Rp183,86 triliun.
Kemenkeu memastikan utang tersebut masih dalam batas aman karena rasio utang mencapai 39,30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau masih di bawah 60%.