JAKARTA- Menurut laporan Bank Indonesia (BI) Utang Luar Negeri (ULN) RI tercatat pada akhir triwulan II-2023 dengan nilai mencapai USD396,3 miliar setara Rp6.080 triliun.
Nilai tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan posisi ULN akhir triwulan I-2023 sebesar USD403,2 miliar.
ULN ini sendiri adalah estafet dari utang Indonesia yang pertama pada tahun 1949. Kala itu utangnya sebesar USD1,13 miliar, yang dimana utang tersebut adalah warisan pemerintah kolonial Belanda melalui hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dalam keberlangsungan KMB tersebut, pada 2 Oktober 1949, delegasi Indonesia terpaksa menerima permintaan menanggung utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden yang saat itu setara dengan Rp1,13 miliar. Kejadian itu tidak bisa terlepas dari pengaruh politis Dubes Amerika Serikat, H. Merle Cochran.
Sejak saat itu, Awalil Rizky dan Nasyith Majidi (2008) dalam bukunya ‘Utang Pemerintah Mencekik Rakyat’, pemerintahan Indonesia era Soekarno mewariskan ULN sekitar USD2,1 miliar. Lalu, pemerintahan Soeharto mewariskan ULN sekitar USD60 miliar. Sedangkan di era singkatnya pemerintahan Habibie ULN Indonesia menjadi USD75 miliar dengan tambahan Utang Dalam Negeri (UDN) sebesar USD60 miliar.
Utang Indonesia pada saat masa pemerintahan Habibie sendiri mencapai Rp938,8 triliun, nilai tersebut merupakan 85% dari Produk Domestik Bruto (PDB) saat itu.
Setelah masa pemerintahan Habibie itu, pemerintah Indonesia tidak pernah lagi mencapai rasio utang terhadap PDB setinggi itu.
Tambahan informasi, era pemerintahan Habibie adalah salah satu masa-masa yang sulit bagi pemerintahan Indonesia yang sudah berdaulat.
Krisis moneter 1997-1998 yang sudah berlangsung sejak pemerintahan Soeharto, ditambah lagi beban atas runtuhnya sistem pemerintahan sebelumnya yang mengiringi era reformasi.