Di luar imbauan tersebut, sejumlah usaha penataan dan penertiban yang dilakukan Dinas Dukcapil DKI Jakarta disebut efektif membuat warga berpikir dua kali sebelum pindah ke Jakarta atau menjalankan akal-akalan agar mendapat KTP DKI Jakarta.
Selama ini, kata Budi, banyak pendatang yang meminta tolong saudara atau kerabatnya di Jakarta agar bisa sekadar "menumpang" di kartu keluarga (KK).
Bila namanya telah masuk ke KK, mereka dapat mengurus kartu tanda penduduk (KTP) dengan domisili Jakarta.
Padahal, banyak dari mereka sesungguhnya tinggal di kota-kota satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, atau bahkan telah kembali ke daerah asalnya di luar Jakarta.
Kata Budi, banyak orang melakukan ini untuk mendapatkan privilese sebagai warga Jakarta, termasuk untuk menerima berbagai bantuan sosial dari pemerintah.
Contohnya program Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, yang membantu siswa SD, SMP, dan SMA dari keluarga tidak mampu, serta Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), yang memberikan beasiswa Rp9 juta per semester bagi mahasiswa yang berdomisili dan lahir di Jakarta.
Ada pula Kartu Lansia Jakarta (KLJ) yang memberikan dana Rp600.000 per bulan pada lansia yang berekonomi rendah serta memiliki kendala fisik atau psikologis.
Mereka yang "menumpang KK" di daerah tertentu juga bisa mendapat prioritas untuk masuk sekolah unggulan di sana lewat jalur zonasi.
"Rusun juga gitu. Kita menyiapkan rusun untuk warga DKI, tapi nyatanya yang datang itu banyak warga non-DKI yang mengisi," kata Budi.
"Akhirnya masalah DKI nggak pernah selesai."
Karena itu, Dinas Dukcapil DKI Jakarta bermaksud menggalakkan kembali penerapan syarat administratif bagi pendatang baru.
Sebelum seorang pendatang bisa "masuk" ke KK dan membuat KTP DKI Jakarta, kepala keluarga terkait mesti membuat surat pernyataan tanggung jawab yang menjamin bahwa si pendatang benar bagian dari keluarga dan menetap di sana.
Bila si pendatang mengontrak rumah di Jakarta, pemilik rumah yang mesti membuat surat pernyataan tanggung jawab tersebut, jelas Budi.
"Akhirnya orang itu akan berpikir lagi kalau untuk menempatkan kerabatnya atau sanak saudaranya untuk masuk ke KK dia," kata Budi.
Mulai 12 April 2024, Dinas Dukcapil DKI Jakarta juga akan menonaktifkan secara bertahap nomor induk kependudukan (NIK) sejumlah warga Jakarta, utamanya mereka yang telah meninggal serta yang tinggal di luar Jakarta meski domisili di KTP-nya tercatat di Jakarta.
Per Februari 2024, ditemukan setidaknya 81.000 NIK warga Jakarta yang telah meninggal dan 13.000 NIK orang-orang yang kenyataannya tinggal di luar Jakarta.
Melalui "penataan dan penertiban" ini, diharapkan bantuan sosial dari pemerintah provinsi DKI Jakarta bisa lebih tepat sasaran. Data yang ada pun bisa lebih merefleksikan kenyataan di lapangan, kata Budi.
Saat ini, jumlah penduduk DKI Jakarta tercatat mencapai 11,34 juta. Dengan luas wilayah Jakarta sebesar 661,5 kilometer persegi, maka ada 17 orang di tiap meter perseginya.
"Hitung dari KTP, oh, ada 11 juta penduduk. Padahal mungkin sebenarnya enggak segitu. Padahal warganya itu banyak yang sudah tinggal di Bogor, misalnya. Itu yang sekarang kita non-aktifkan," kata Budi.
"Kalau misalnya dia tidak pindahkan domisilinya, kita akan freeze NIK-nya, jadi dia tidak bisa melakukan transaksi perbankan. Dia mau urus BPJS tidak bisa juga. Karena kan semua base-nya dari KTP."
Beralih dari Jakarta ke Bodetabek
Pada pertengahan 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) menjalankan studi lanjutan atas sensus penduduk 2020 - yang sempat tertunda karena pandemi Covid-19.
Hasilnya, BPS menemukan ada 212.457 migran risen yang masuk ke Jakarta, dan 797.468 orang yang meninggalkan Jakarta.
Migran risen adalah istilah untuk orang-orang yang tempat tinggalnya sekarang berbeda wilayah dengan lima tahun silam.
Dari sana dapat dilihat, ada lebih banyak orang yang pergi dari Jakarta dibandingkan yang datang pada periode 2017-2022.
Data BPS menunjukkan, Jawa Barat jadi provinsi tujuan utama orang-orang yang meninggalkan Jakarta.
(Taufik Fajar)