JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) batal disahkan. Komisi VII DPR RI ymembatalkan Rapat Pengambilan Keputusan Tingkat I RUU EBET dengan Kementerian ESDM akibat belum adanya kesepakatan mengenai skema power wheeling dalam RUU EBET.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyampaikan, pihaknya batal melakukan rapat dengan Kementerian ESDM dikarenakan belum sepakat terkait norma tentang power wheeling, Rabu 18 September 2024.
Otomatis RUU EBET tersebut tidak dapat disahkan oleh DPR RI periode 2019-2024. Selanjutnya, pembahasan RUU EBET akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah periode mendatang.
"Dengan pembatalan tersebut, pembahasan RUU EBET bisa semakin matang, terutama terkait norma power wheeling. Bahkan sangat dimungkinkan untuk me-review pasal-pasal lain yang krusial. Mengingat pembahasan RUU EBET kemarin banyak yang diburu waktu," kata Mulyanto.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN (Persero) Abrar Ali mengapresiasi sikap Komisi VII DPR RI yang dengan tegas menolak kebijakan skema power wheeling yang terdapat dalam RUU EBET.
"Kami apresiasi sebagai sikap yang sangat bijak dan patriotik, karena (power wheeling) lebih besar mudarat dibanding manfaatnya," kata Abrar dalam pernyataan resmi.
Power wheeling adalah skema yang memungkinkan pihak swasta dapat melakukan sewa jaringan listrik milik PLN atau disebut sebagai Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) dalam RUU EBET.
Dia mengungkapkan pihaknya sangat sepakat dengan sikap dari Anggota Fraksi PKS tersebut, yang dengan tegas menolak power wheeling dalam RUU EBET karena dinilainya sebagai bentuk liberalisasi sektor kelistrikan serta tidak sesuai dengan konstitusi.
Pemerintah, katanya harus mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan segelintir pengusaha. Bila ketentuan power wheeling disetujui, maka pihak swasta diperbolehkan untuk memproduksi sekaligus menjual listrik kepada masyarakat secara langsung, bahkan dengan menyewa jaringan transmisi PLN.
Keadaan ini bisa melemahkan peran negara dalam penyediaan listrik bagi masyarakat. Dampaknya, harga listrik akan ditentukan oleh mekanisme pasar.
“Seperti yang disampaikan Pak Mulyanto, listrik merupakan kebutuhan penting dan strategis bagi masyarakat, sesuai konstitusi harus dikuasai oleh negara. Jangan karena ingin tampil di kancah global, kebutuhan domestik dan national interest kedodoran,” katanya.
Abrar juga menegaskan, terkait soal power wheeling sebaiknya tidak perlu lagi dimasukkan dalam RUU EBET, karena berlaku tidak adil dengan lebih memihak swasta, memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmati keuntungan besar.
"Padahal, sesuai konstitusi, kesempatan tersebut harus diberikan kepada BUMN, yang menurut konstitusi adalah pemegang hak monopoli,” ujarnya.
(Dani Jumadil Akhir)