JAKARTA - Dua asosiasi perdagangan berjangka, Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI), mengajukan uji material ke Mahkamah Agung atas PP Nomor 17 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
"Telah melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung pada Rabu, 15 Juli 2009," kata kuasa hukum asosiasi tersebut, Henry David Oliver Sitorus, saat bertemu dengan wartawan di Graha Mandiri, Jakarta, Kamis (16/7/2009).
Dua aosiasi tersebut menginginkan agar peraturan tersebut dicabut karena sangat memberatkan, dengan membebankan pajak penghasilan yang sangat besar, yakni 2,5 persen dari margin awal.
"Pemohon menilai besaran pajak penghasilan sebesar 2,5 persen tersebut sangat tidak masuk akal dan kemungkinan besar sangat berpotensi akan mematikan industri ini," jelasnya.
Mereka juga menilai bahwa dasar pengenaan pajak penghasilan dari margin awal adalah salah kaprah dan tidak tepat secara hukum, dengan alasan margin hanyalah jaminan untuk bertransaksi sehingga bukanlah merupakan objek dari pajak penghasilan.
"Bahwa PP ini juga kami nilai bersifat diskriminatif karena transaksi derivatif di bursa saham (BEI) yang mempunyai karakteristik yang sama hanya dibebani 0,1 persen," jelasnya.
Sekadar informasi, pada 9 Februari 2009 Presiden SBY telah mengeluarkan PP Nomor 17 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak.
Sedangkan dalam PP Nomor 17 Tahun 2009, margin awal telah dibebani pajak penghasilan sebesar 2,5 persen di saat penyetoran margin awal. Padahal, margin awal adalah suatu jaminan transaksi yang dapat berupa uang dan surat berharga.
(Nurfajri Budi Nugroho)