JAKARTA - Rencana Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mengeluarkan produk investasi Kontrak Opsi Saham (KOS) dan LQ-45 Futures terkendala besarnya pajak yang diminta pemerintah.
Pajak yang dikenakan pemerintah untuk produk derivatif sebesar 2,5 persen dinilai sangat memberatkan. Nilai tersebut sangat jauh dibandingkan fee perdagangan efek yang hanya 0,1 persen. "Pajak yang dikenakan sebesar 2,5 persen itu sangat memberatkan. Kalau kita luncurkan produk itu,apakah akan menarik untuk investor? Untungnya belum kelihatan sudah kena pajak,” ujar Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEIWanWei Yiong di Jakarta kemarin. Menurut dia, ketentuan pajak tersebut ditetapkan pemerintah mulai tahun depan,dengan produk derivatif akan terkena pajak sebesar 2,5 persen dari dana awal (initial margin) yang disetorkan nasabah.
Permasalahan pajak ini yang membuat BEI kemudian menunda rencana peluncuran produk investasi tersebut.Padahal BEI mengharapkan pengembangan produk ini bisa meningkatkan likuiditas perdagangan di bursa. Wei Yiong mengungkapkan, untuk transaksi saham, pemerintah menetapkan pajak final 0,1 persen untuk setiap transaksi. Sementara transaksi derivatif KOS dan LQ 45 Futures sebesar 2,5 persen hanya untuk penempatan modal pertama.Karena itu,pihaknya meminta pemerintah memberi kelonggaran terkait permasalahan pajak itu.
"Paling tidak pajak untuk transaksi derivatif disamakan dengan pajak transaksi saham,”lontarnya. Bursa,lanjut dia,akan menunggu hingga ada kepastian terkait pajak untuk produk derivatif."BEI memilih menunda dulu peluncurannya hingga ada kejelasan,”ucap WeiYiong. Rencana otoritas bursa untuk mengembangkan produk derivatif sudah ada sejak 2008,namun tertunda akibat krisis finansial. BEI kemudian berencana meluncurkan ulang produk tersebut pada Maret 2009 menunggu peningkatan kapasitas Jakarta Automatic Trading System (JATS) Next Generation.
Revitalisasi KOS dan LQ-45 kemudian dilanjutkan dengan menyiapkan peraturan bursa untuk kedua transaksi tersebut. Manajemen BEI periode sebelumnya sudah mengajukan revisi peraturan mengenai produk derivatif kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dalam revisi peraturan tersebut disebutkan, syarat underlying asset kontrak opsi antara lain pertimbangan likuiditas dengan kapitalisasi pasar minimal Rp500 miliar. Selain itu,ada juga syarat minimum rata-rata perdagangan harian dan sejumlah syarat fundamental.
Berdasarkan sejumlah syarat tersebut, saham yang layak menjadi underlying assetuntuk kontrak opsi saham di antaranya saham PT Astra International Tbk (ASII),PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR),dan sejumlah saham yang masuk daftar saham LQ-45. Sebelumnya Direktur Utama BEI Ito Warsito mengatakan sudah membicarakan hal tersebut dengan Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (AAEI).Menurut Ito, sebelumnya ada 34 anggota bursa yang berminat memperdagangkan produk derivatif tersebut,namun urung melakukannya karena krisis.
Pengamat pasarmodal Edwin Sinaga mengatakan, produk derivatif sebenarnya cukup menarik. Namun bila melihat pasar modal Indonesia saat ini, produk tersebut masih belum siap untuk diluncurkan. Sehingga tanpa adanya persoalan pajak pun, produk ini kurang diminati.
(Candra Setya Santoso)