Adapun, pertumbuhan ekonomi Indonesia kala itu dibantu quantitative easing yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) yang menggelontorkan dana murah ke dunia dan banyak diambil manfaatnya.
Ketika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran enam persen, membawa dampak terhadap income masyarakat yang lebih baik. Namun, sayangnya hal ini tidak didukung dengan aspek penawaran yang lebih baik dan menyebabkan impor melimpah.
"Tidak didukung aspek penawaran yang memadai, akhirnya banyak impor. Maka produksi nasional dan persediaan barang dan jasa nasional tidak memadai," pungkasnya.
Sehingga, sebut Agus, angka impor lebih besar melebihi ekspor dan membuat transaksi berjalan mengalami defisit selama paling tidak tiga tahun lamanya.
(Fakhri Rezy)