 
                Tetapi, produk kali ini elemen brand -nya sangat nyata karena berada di bagian depan dan sentral sebagai desain kemasan. Nama brand ini sebenarnya sangat kreatif dari sisi kacamata komunikasi brand karena catchy, memorable, dan punya stopping power yang tinggi untuk membuat seseorang berhenti dan tertarik untuk melihat produk tersebut. Produk yang bisa dikatakan sebagai inovatif kreatif ini ternyata selain mendulang sukses juga mendulang kontroversi.
Pada kemasannya menampilkan gambar karikatur bikini walau tanpa wajah. Meski demikian, tetap saja ini dianggap tidak cocok untuk anakanak dan remaja. Apalagi pada bagian kemasannya terdapat tagline ”Remas aku” sehingga menambah kesan negatif. Masalah tidak sampai di situ, kemasan yang berbau pornografi ini juga menarik perhatian instansi terkait karena label halal yang dicantumkannya ternyata tidak terdaftar (ilegal). Apalagi kandungan komposisi bahan tidak dijelaskan termasuk tidak adanya tanggal kedaluwarsanya.
Seorang mahasiswa di kelas marketing saya, Bobby, menyatakan dia akan berpikir seribu kali untuk membeli produk itu dan membawanya ke rumah. Dia khawatir produk itu dilihat adik-adiknya dan yakin bahwa orang tuanya pasti tidak suka saat melihatnya mengonsumsi produk dengan kemasan yang ”seronok”.
Dia merasa sangat tidak nyaman untuk mengonsumsinya, walaupun rasa ingin tahu tetap tinggi. Pelajaran branding yang bisa dipetik adalah jangan bertaruh dalam memasarkan produk. Selain konsumen, juga masih ada pihak-pihak lain yang perlu diperhatikan. Para stakeholders bisa menjadi faktor penghambat sebuah ide cemerlang ini diterima secara terus-menerus. Yang bermasalah dengan produk Bikini ini adalah keberlangsungannya.
Produsen melupakan bahwa sebuah produk tidak bisa hanya dibuat untuk ”memuaskan needs” dari konsumen saja, tetapi ada banyak pihak lain yang terkait yang juga perlu dijajaki pendapatnya. Konsumen anak dan remaja Bihun Kekinian ini mungkin saja akan tertarik, bahkan menikmati keseruannya dan kemudian menjadi brand ambassador dan pemicu viral untuk teman-temannya.
Tetapi, produsen melupakan bahwa pada saat yang sama ada stakeholder lain yang terganggu, maka viral itu pun menjadi bumerang. Semua investasi waktu, energi, bahkan uang untuk memasarkan produk, menjadi sia-sia saat produk harus dihentikan pemasarannya secara paksa.