Menurutnya, direksi JICT bergaji jauh lebih besar yakni di atas Rp2,5 miliar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja. "Prestasi buruk direksi ini patut dicurigai bagian dari gerakan memuluskan penjualan aset nasional JICT," katanya.
Dia menyebut, saat ini pendapatan perusahaan yang besar mencapai Rp3,5 triliun hingga Rp4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan korupsi bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT.
Pasalnya, sejak 2015 JICT telah melakukan super-efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT USD85 juta per tahun, padahal pendapatan perusahaan naik 4,6% pada 2016.
Dengan perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039) yang dilakukan Pelindo II kepada Hutchison, telah terbukti tidak ada nilai tambah karena melanggar UU, merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang.
(Martin Bagya Kertiyasa)