BANDUNG– Sekitar 30.000 tenaga kerja di Jawa Barat diperkirakan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kondisi perekonomian yang belum stabil. Sektor garmen menjadi industri yang paling banyak merumahkan karyawannya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar Deddy Widjaya mengatakan, sejak awal tahun hingga Agustus 2017 ini, diperkirakan ada puluhan industri skala besar yang melakukan efisiensi. Mayoritas adalah industri garmen dan padat karya lainnya yang berada di Jawa Barat bagian utara (pantura), Bogor, dan sebagian di Bandung Raya.
“Mereka tidak sepenuhnya tutup, tapi melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Akibatnya, PHK tidak dapat terhindarkan. Sebagai contoh, di Karawang sekarang sudah tidak ada industri garmen skala besar. Padahal awalnya ada lima hingga enam perusahaan besar,” kata Deddy.
Baca juga: Terobosan! Jokowi Siapkan Dana Cadangan Pesangon bagi Pekerja Korban PHK
Akibat melambatnya kinerja industri besar, sejumlah pabrik terpaksa melakukan pengurangan karyawan. Deddy memperkirakan, lebih dari 30.000 tenaga kerja terkena PHK. Jumlah itu, diperkirakan bisa lebih besar bila digabungkan dengan industri menengah dan kecil.
“Silakan datanya dicek di Dinasker. Ini saya sampaikan kondisi riil yang terjadi di Jawa Barat. Memang industri besar sekarang kondisinya susah,” pungkas dia.
Lebih lanjut Deddy mengatakan, selain kondisi ekonomi yang kurang baik, beberapa faktor yang menyebabkan lesunya industri besar di Jawa Barat adalah terhambatnya importasi barang. Menurut dia, pengusaha merasa terbebani atas proses importasi yang cenderung dipersulit. Sementara, industri mengandalkan bahan baku impor untuk usahanya.
Baca juga: Waspada! Perkembangan Teknologi Picu PHK Industri TI
“Impor dipersulit, akibatnya mengganggu supply dan demand. Stok bahan baku kami hanya cukup untuk beberapa bulan saja. Dan sekarang sudah menipis dan sebagian habis. Jadi kami mau bagaimana? Sementara bahan baku selama ini mengandalkan impor,” ujar dia.
Dia mencontohkan, minimnya suplai garam beberapa waktu lalu, juga cukup menghambat kinerja industri besar. Sektor tekstil misalnya, mengandalkan garam untuk proses pencelupan kain. Sementara suplai garam industri menipis. Di sisi lain, industri pun harus menghadapi tingginya harga garam yang mencapai Rp4.000/kg dari yang sebelumnya Rp700/kg.
Melemahnya industri besar di Jawa Barat, diperkirakan akan terus terjadi apabila tidak ada langkah konkret dari pemerintah. Misalnya memperbaiki tata niaga bahan baku, memperlancar importasi barang, dan subsidi pajak.
Kebijakan itu diperlukan agar industri bisa kembali menggeliat dan menyerap tenaga kerja. Tak hanya soal PHK, Deddy pun mengakui, melemahnya kinerja industri menyebabkan naiknya kredit macet di sejumlah bank. Hal itu sesuai dengan laporan Bank Indonesia, yang menyebut NPL industri di Jabar sudah mendekati angka 4%.
Baca juga: PHK Ancam Sektor Industri, Begini Tanggapan Menko Darmin
Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tingkat pengangguran terbuka (TPT) terus bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat, pada Agustus2016, TPTsebanyak 2,72 % dari jumlah penduduk sedangkan pada Februari 2017menjadi2,84% atau naik 0,21%.
Ironisnya, dari jumlah tersebut, kebanyakan pengangguran terdidik. Meski begitu, jika dibandingkan dengan TPT nasional, TPT DIY lebih rendah. Sebab TPT nasional mencapai 5,53%. Minimnya industri di DIY diduga menjadi penyebabnya.
“DIY bukan kota industri sehingga lowongan dan serapan kerja relatif kecil,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sleman Untoro Budiharjo yang mewakili Kepala Disnakertran DIY saat membuka Job Fair UII 2017 di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sleman, DIY.
“Agar pengangguran bisa dikurangi dan diturunkan. Selain dengan menggelar job fair juga melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan yang ada di luar DIY,” paparnya.
(Rizkie Fauzian)