"Kita meletakkan ketenagakerajaan selalu perspektif sebagai residu dari kebijakan-kebijakan yang lain, bukan sebagai pusatnya," katanya.
Baca juga: Waduh! 60,39% Tenaga Kerja Indonesia Cuma Lulusan SD-SMP
Menurutnya perspektif ini yang menyebabkan cara pandang bangsa Indonesia tidak melihat indikator ketenagakerjaan masuk sebagai sebuah indikator ekonomi makro.
Di Indonesia, lanjutnya, yang menjadi indikator makronya adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi, minya dan gas. Berbeda perlakuan ketika sektor ketenagakerjaan menjadi indikator makro. Sebagai contoh jika pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,4% segala sumber daya, dikerahkan untuk mencapai target tersebut.
Seperti di Inggris, apabila ketika ketenagakerjaannya mengalami gejolak, maka nilai mata uangnya menjadi goyah. Berbeda dengan Indonesia, jika pengangguran tinggi atau turun rupiah tetap adem ayem.
Baca juga: Persaingan Sengit, Daya Saing SDM Indonesia Harus Terus Dimodifikasi!