JAKARTA – Upaya Perum Bulog untuk merealisasikan target pengadaan beras tahun ini sepertinya sulit tercapai. Faktor ketersediaan dan tingginya harga gabah maupun beras menjadi pemicunya.
”Tentu saja kami akan terus berupaya, tapi kalau tidak tercapai ya sudah. Kami juga kejar (beras) komersialnya, tapi kalau tidak ada (gabah atau beras) ya bagaimana?” ujar Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti di Jakarta. BUMN pangan ini pada 2017 menargetkan bisa menyerap gabah petani sebanyak 3,6 juta ton setara beras. Namun, hingga Kamis (21/9) baru terealisasi 1,6 juta ton.
Jumlah tersebut terdiri atas cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 290.000 ton, beras komersial 29.000 ton dan sisanya beras untuk public service obligation (PSO). Melihat capaian tersebut, Djarot pesimistis hingga akhir tahun bisa mencapai 3,6 juta ton. ”Jumlahnya 2,5 juta ton saja,” ujarnya. Apalagi, saat ini sudah memasuki musim gadu, di mana seperti tahun-tahun yang lalu, produksi gabah mulai menurun. Indikasi penurunan produksi tersebut terlihat dari turunnya penyerapan harian.
Baca Juga: Program Bantuan Pangan Nontunai, Bulog Terancam Kelebihan Stok Beras
Bila pada pekan pertama dan kedua bulan ini Bulog masih mampu menyerap beras petani rata-rata sebanyak 10.000 ton per hari, mulai pekan ketiga serapan beras Bulog hanya 9.000 ton. Menurut Djarot, minimnya penyerapan beras ini dipicu tingginya harga gabah maupun beras di pasaran. Harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), dan beras medium dinilai tidak lagi sesuai dengan kondisi di lapangan. Di sentra produksi padi, harga di penggilingan cenderung tinggi seiring tingginya permintaan.
”Penyebabnya harga sebagian besar sudah naik. Memang dengan jumlah terbatas kan kita berebut dengan pedagang yang juga membeli (gabah dan beras),” katanya. Djarot mengungkapkan, tingginya harga beras tersebut terjadi di sentra produksi beras utama, yakni di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tingginya harga tersebut berdampak pada penyerapan dari ketiga daerah tersebut juga jauh dari yang ditargetkan. Bahkan, praktis mulai Agustus lalu penyerapan harian Bulog terbesar disumbang dari Sulawesi Selatan yang tiap harinya rata-rata mencapai 4.000 ton. ”Namun, saat ini tidak sampai karena di sana harga juga mulai naik dan barang juga makin terbatas,” kata mantan Direktur Bank BRI ini.
Baca Juga: Demi Ketahanan Pangan, Jokowi Perkuat Bulog
Djarot menambahkan, apabila hingga akhir tahun ini penyerapan Bulog bisa mencapai 2,5 juta ton, stok akhir tahun kira-kira hanya sekitar 1 juta ton. Penyaluran beras sejahtera (rastra) untuk masyarakat miskin menyedot beras paling banyak, yakni mencapai 920.000 ton. ”Tiap bulan kan kita salurkan rastra 230.000 ton. Sementara tahun ini masih ada empat bulan yang harus kita salurkan. Jadi untuk rastra saja 920.000 ton,” ujarnya. Penyaluran lainnya yakni untuk bencana dan stabilisasi harga beras melalui operasi pasar (OP).
Guru besar IPB Dwi Andreas Santosa memperingatkan pemerintah bahwa hal ini merupakan persoalan serius pada produksi beras. ”Ini persoalan serius. Bulog itu memiliki infrastruktur hingga ke tingkat petani. Kalau harga tinggi di tingkat petani, ini menggambarkan produksi yang bermasalah,” katanya. Seharusnya pengadaan beras Bulog hingga akhir September itu sudah mendekati target yang ditetapkan. Sebab, pada Oktober-Desember itu produksi sedikit, sedangkan panen tertinggi terjadi pada Februari- April dan Juli-Agustus.
Baca Juga: Jokowi: Pangan adalah Hidup Mati Bangsa!
”Dengan demikian, kalau hingga sekarang pengadaan baru 1,6 juta ton, berarti ada masalah produksi pada bulan-bulan sebelumnya,” kata Andreas. Andreas juga menjelaskan bahwa minimnya produksi beras tahun ini juga tergambar dari harga di tingkat konsumen, di mana harga beras kualitas medium di kisaran Rp10.500- Rp10.900 per kilogram (kg). “Ini sudah melampaui ambang psikologis sehingga masyarakat mungkin beralih mengonsumsi ke nonberas. Lihat saja penjualan mi instan, naik atau tidak?” ujar Andreas.
Sementara itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, kesulitan Bulog menyerap beras ini karena harga gabah maupun beras sudah berada di atas HPP. Walaupun pemerintah mengeluarkan kebijakan fleksibilitas harga 10%, kebijakan itu dinilai terlambat. Sebab, kebijakan tersebut diterapkan Juli lalu, sedangkan bulan tersebut sudah lewat panen rendengan.
”Kalau fleksibilitas harga tersebut dikeluarkan awal tahun, saya yakin Bulog bisa banyak menyerap beras petani,” kata Winarno.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)