Apa tidak terjadi moral hazard ? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Namun, cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula.
Dan yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kelompok kaya, atau kedua-duanya? Kalau pemerintah konsisten, seharusnya bukan operasi pasar beras yang digalakkan, melainkan memperbesar volume subsidi pangan.
Ketika ada subsidi pangan dalam bentuk beras, seharusnya tidak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku terjadi double standard : subsidi umum dan subsidi terarah. Selain tidak adil bagi warga miskin, langkah standar ganda semacam ini bakal menguras anggaran yang besar. Menjadi masalah karena kini pemerintah justru secara gradual menghapus subsidi pangan.
Raskin yang berubah rastra diganti bantuan pangan nontunai (BPNT). Berbeda dengan raskin/rastra yang berbentuk natura 15 kg beras per bulan, dalam BPNT keluarga penerima manfaat (KPM) menerima transfer Rp110.000 per bulan dari bank yang ditunjuk.
Uang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, telur di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Jika tidak habis, uang sisa di voucher bakal menjadi tabungan. Meskipun diyakini akan lebih baik dan tepat sasaran, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah masalah.
Pertama , harga pangan di luar Jawa relatif tinggi dibandingkan di Jawa. Artinya, KPM di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka yang di Jawa.
Kedua, dengan harga beras medium Rp9.450 per kg (di daerah produsen) dan Rp9.950 hingga Rp10.250/kg (di daerah konsumen), KPM hanya menerima beras setara 10,7 hingga 11,6 kg, lebih rendah dari raskin/- rastra selama ini. Artinya, manfaat yang diterima KPM dalam BPNT lebih rendah dari raskin/rastra.
Ketiga, apabila pengecer yang ditunjuk tidak menjual beras dan pangan seperti yang dianjurkan, warga perlu menambah ongkos transportasi karena harus bolak-balik. Ini membuat manfaat juga lebih rendah.
Keempat, besar bantuan sama, yakni Rp110.000 per KPM. Padahal, anggota keluarga tiap KPM beda. Idealnya, besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga.
Kelima, siapa yang mengontrol bila setelah uang bantuan nontunai ditukar dengan pangan, lalu pangan dijual untuk membeli rokok atau pulsa? Dalam kondisi demikian, instrumen stabilisasi harga beras sepenuhnya tergantung pada cadangan beras pemerintah (CBP).
Padahal, CBP harus hanya 350.000 ton atau setara kebutuhan konsumsi beras tiga hari. Di APBN 2018, anggaran CBP juga tidak diperbesar. CBP ini mustahil bisa jadi instrumen pengendali harga. Bisa dipahami apabila kemudian pemerintah mengandalkan operasi pasar sebagai jurus pengendali harga. Padahal, semua tahu efektivitas operasi pasar amat rendah. Buat apa operasi pasar beras?
Khudori
Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
(Dani Jumadil Akhir)