JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mengungkapkan, dana APBN hanya dapat membiayai 8,7% dari total kebutuhan di sektor infrastruktur, sementara negara membutuhkan anggaran infrastruktur lebih dari Rp5.000 triliun hingga 2019. Pasalnya, pembangunan infrastruktur di Indonesia melambat selepas rezim Orde Baru (Orba).
Karena itu, Bappenas meminta kalangan swasta dan BUMN untuk mencoba memanfaatkan pembiayaan investasi non anggaran (PINA) demi mendorong tergeraknya proyek infrastruktur pada 2018 seperti Tol Trans Jawa dan jalan paralel perbatasan di Kalimantan dan Papua.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro mengatakan, APBN sendiri hanya dapat membiayai 8,7% dari total kebutuhan di sektor infrastruktur. Sementara itu, anggaran yang dibutuhkan negara untuk melanjutkan pembangunan hingga 2019 mencapai lebih dari Rp 5 ribu triliun.
Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, berutang memang menjadi salah satu cara untuk dapat menanggulangi biaya yang teramat besar tersebut, namun itu harus dapat disikapi secara bijak. "Utang negara sudah defisit, dan akan semakin besar bila melibatkan PMN (Penyertaan Modal Negara) untuk pembiayaan proyek infrastruktur. Berutang memang perlu, tapi harus disikapi dengan bijak dan efektif," ujarnya di Jakarta, Kamis (18/1).
Data Bappenas mencatat, pembangunan infrastruktur di Indonesia melambat selepas rezim Orba yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Menurut dia, hal ini terlihat dari kontribusi ketersediaan infrastruktur ke Produk Domestik Bruto (PDB).
Tercatat, stok infrastruktur terhadap PDB pada 2012 sebesar 38% terhadap PDB. Posisi ini menurut Bambang tak banyak berubah sampai tahun ini. "Di zaman Orde Baru sebelum krisis 1998, posisi stok infrastruktur terhadap PDB pernah 49%, hampir separuh dari PDB negara," ujarnya.
Selain itu, kontribusi pembangunan infrastruktur saat ini juga tertinggal dari negara lain. Sebab, tingkat rata-rata stok infrastruktur global ada di kisaran 70% dari PDB masing-masing negara. "Jepang itu di atas 100%, lebih besar dari PDB-nya. China sudah hampir 80%. Amerika Serikat sekitar 75-76%,” ujarnya.
Untuk itu, meningkatkan pembangunan infrastruktur sangat perlu dilakukan pemerintah. Sebab, infrastruktur tak hanya berdampak langsung sebagai penunjang aktivitas masyarakat, namun lebih jauh turut membangun ekonomi. Tantangannya, menurut Bambang, tinggal bagaimana Indonesia bisa memperoleh sumber-sumber pendanaan baru untuk infrastruktur.
Sebab, menurut dia, sekitar 41,3% proyek infrastruktur masih mengandalkan suntikan dari APBN. Nilainya sebesar Rp1.969,6 triliun dari total kebutuhan Rp4.769 triliun. "Sedangkan kontribusi dari BUMN baru sekitar 22,2% dan partisipasi swasta sekitar 36,5%,” ujarnya.
Oleh karenanya, dibutuhkan skema-skema pembiayaan yang segar dan menguntungkan untuk menarik dana yang lebih banyak dari investor, khususnya swasta. Karena saat ini pemerintah tidak bias lagi membiayai pembangunan infrastruktur melalui APBN dengan menggunakan skema penyertaan modal negara (PMN), akibat keterbatasan keuangan negara.
Sedangkan dengan PINA bisa menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur, karena dananya bisa berasal dari tabungan pensiun dan asuransi, yang sifatnya jangka panjang. Hal ini sejalan dengan pembangunan infrastruktur yang pengembaliannya dalam jangka panjang.
.