Keberadaan "Industry 4.0" dinilainya mengubah rantai nilai perusahaan untuk menghasilkan produk atau jasa, memberikan altenatif berdagang melalui perdagangan elektronik (electronic commerce/e-commerce), menyediakan cara pembayaran baru melalui uang elektronik, serta memengaruhi pelayanan publik melalui "e-government".
Selain itu, Mari memperkirakan 40-60 persen pekerjaan akan hilang di Asia Tenggara, kawasan yang masih memiliki keunggulan komparatif dalam jumlah demografi dan upah buruh.
"Ini memang mengerikan, tetapi kita tidak perlu takut. Kita perlu memikirkan bagaimana mengantisipasinya. Kendala utama adalah kurangnya kesadaran," kata dia.
Pemerintah perlu memikirkan bagaimana mengantisipasi "Industry 4.0" dengan merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kepentigan nasional tanpa harus mengorbankan isu inovasi.
Mari berpendapat bahwa kunci untuk mengantisipasi "Industry 4.0" adalah dengan menyadari pentingnya isu produktivitas dan inovasi. Bagi Indonesia, hal tersebut berarti perlu perubahan pola pikir mengenai upah buruh rendah sebagai keunggulan komparatif.
"Perlu diperhatikan bahwa Asia Tenggara saat ini bukan hanya kawasan berbasis produksi saja tetapi juga sebagai 'market' yang berkembang. Hal inilah yang dapat memicu perubahan," ujar dia.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Ari Kuncoro mengatakan pihaknya sedang mengkaji pekerjaan-pekerjaan yang akan terpengaruh perkembangan revolusi industri terbaru.
Dia memandang, bahwa teknologi tidak bisa ditentang, maka hal yang kemudian bisa dilakukan adalah dengan mengalihkan (switching) pola kerja mengikuti perkembangan yang terjadi.
Ari mencontohkan salah satunya adalah pekerjaan akuntan mengaudit dokumen-dokumen dapat diotomatisasi menggunakan perangkat lunak. Oleh karena itu, kerja akuntan ke depan bisa beralih menjadi analis data bisnis.
Perkembangan tersebut juga akan mengancam industri yang padat karya di Indonesia, misalnya perakitan elektronik, perakitan kendaraan bermotor, atau pemetik di kebun kelapa sawit.
"UI sedang memikirkan ke arah situ, di mana pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin dan monoton berpotensi digantikan robot. Jadi sekolah juga harus berubah dan memahami hal tersebut. Itu yang kita mesti hati-hati," kata dia.
Program pemerintah mengenai vokasi, menurut Ari, perlu dikembangkan ke arah yang kemampuannya spesifik misalnya tukang masak, dan kegiatan rutin seperti perakitan harus mulai ditinggalkan.
Dia berpendapat teknologi robotik untuk mengganti kegiatan industri padat karya belum banyak diaplikasikan di Indonesia sendiri karena upah buruhnya belum terlalu mahal.
Namun, menurut Ari, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam 15 tahun ke depan akan terdapat penemuan-penemuan yang semakin maju sehingga memungkinkan biaya aplikasi robot lebih murah.
(Fakhri Rezy)