Dia menilai meskipun sama-sama berada di sektor bisnis transmisi dan distribusi atau niaga gas, namun dari segi pendapatan antara PGN dan Pertagas berbeda. Hal tersebut bisa terlihat dari pendapatan masing-masing perusahaan pada 2016 silam, di mana PGN bisa memperoleh pendapatan Rp38,15 triliun. Sementara Pertagas hanya bisa mengumpulkan Rp8,69 triliun.
"Bahkan Pertamina sendiri yang akan menjadi induk dari holding BUMN Migas, sampai Desember 2017 lalu memiliki utang sebesar Rp153,7 triliun. Kalau dilihat dari neraca keuangan, bisa dinilai PGN cukup stabil dan sehat bila dibandingkan Pertamina," kata Jajang dikutip dari hasil riset yang dibuatnya, Selasa (13/3/2018).
Baca Juga: Holding BUMN Migas Terbentuk 25 Januari, Pertamina Ambil 57% Saham PGN
Dia menyimpulkan upaya Kementerian BUMN untuk melakukan merger PGN dengan Pertagas, ada maksud lain. "Ambisi Menteri BUMN Rini Soemarno begitu menggebu-gebu untuk menggabungkan kedua perusahaan. Dengan dilakukannya penggabungan atau merger dua perusahaan gas juga bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha dan pengguna dalam hal ini masyarakat tidak ada pilihan harga gas yang berbeda lagi," kata Jajang.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas N Zubir mengatakan kebijakan holding BUMN migas yang dijalankan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan (Perseroan) terlalu terburu-buru hingga mengabaikan berbagai aspek.