TANGERANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang mulai memanfaatkan teknologi geolistrik untuk pembuatan lubang biopori, pembangunan jembatan, hingga elevated busway Koridor 13 Ciledug-Tendean.
Dengan menggunakan metode geolistrik ini, maka akan menghemat terjadinya kesalahan dalam pengeboran. Dengan demikian, dapat mengurangi dampak dari kerusakan lingkungan akibat pengeboran tanah. Selain itu, geolistrik juga bisa mengurangi beban biaya yang harus ditanggung dalam proses awal suatu pembangunan. Dengan kata lain, penggunaan geolistrik dalam proses pembangunan tersebut merupakan langkah yang efektif dan efisien. Apalagi dalam penerapannya, Pemkot Tangerang bekerja sama dengan sejumlah tenaga profesional dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berpusat di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Teknologi yang biasa digunakan untuk pertambangan, minyak, pembuatan konstruksi bangunan, arkeologi, benda-benda bersejarah, geologi, dan hidrologi ini pun mulai dimanfaatkan di perkotaan. Kepala Dinas PUPR Kota Tangerang Nana Trisyana mengatakan, teknologi ini bisa dimanfaatkan seluas-luasnya untuk semua pembangunan di Kota Tangerang melalui jalinan kerja sama dengan BPPT. "Teknologi ini bisa kita aplikasikan dalam kebutuhan pembangunan di Kota Tangerang dan memberikan solusi bagi penanganan persoalan perkotaan yang ada," ungkap Nana.
Nana mengatakan, proyek pembangunan yang sedang digarap ke depan dengan teknologi geolistrik adalah pembangunan jembatan. Terutama untuk mengetahui lapisan tanah dasarnya. Menurutnya, teknologi ini sangat penting digunakan untuk meneliti struktur tanah agar mendapatkan profil lapisan tanah dasar (sub bottom profile ) yang kuat dan mencegah terjadinya longsor pada tanah. "Sehingga sangat membantu proses investigasi tanah pembangunan jembatan. Jadi, sebelum dilakukan pengeboran, kita gunakan teknologi geolistrik ini untuk mengetahui lapisan tanahnya," ujarnya.
Dalam sejumlah kasus, sebelum memakai teknologi geolistrik, pengeboran tanah sering salah alamat. Alhasil, tanah menjadi rusak dan harus dilakukan pengeboran ulang serta menambah biaya. Selain membuang-buang tenaga, sistem pengeboran dengan cara manual ini tidak memiliki tingkat keakuratan yang pasti. Meski demikian, bukan berarti pengeboran seperti ini menjadi tidak berguna lagi. Sebaliknya, teknologi makin melengkapi sistem pengeboran yang ada, bahkan menyempurnakannya. Dari yang tadinya rawan terjadi kesalahan, menjadi minus kesalahan pada proses pengeboran.
"Karena salah beberapa titik saja, hasilnya bisa jadi kurang akurat. Apalagi jarak satu meter saja karakter tanah sudah beda. Teknologi ini memungkinkan memindai struktur tanah secara tepat," sambungnya. Dengan kekerasan yang dibutuhkan, maka bencana longsor atau amblas pada pencanangan tiang bangunan bisa lebih dihindari dan diminimalkan. Hal inilah yang sangat dibutuhkan dari teknologi ini. "Teknologi ini cocok digunakan di daerah yang struktur tanahnya didominasi lapisan aluvial tebal (lempung), seperti di wilayah Priuk, kawasan Kali Ledug dan yang ada di sepanjang Sungai Cisadane," imbuhnya.