JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengingatkan pemerintah soal besarnya utang negara Rp4.034,80 triliun. Jangan sampai Indonesia bernasib sama seperti Srilanka, Angola, Pakistan, yang tidak mampu membayar utang untuk pembangunan infrastrukturnya.
Ekonom Indef Rizal Taufikurahman mengatakan, dampak kebijakan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah selama 2014-2018, produktivitasnya terlihat tidak bergeming, bahkan cenderung menurun atau justru negatif malah negatif. Dalam jangka panjang kebijakan ini cendrung negatif, hal ini terlihat dari jumlah utang pemerintah yang telah mencapai Rp4.034,80 triliun pada Februari atau meningkat 13,46% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Dampaknya terhadap GDP riil, memang meningkat infrastruktur ini pada saat ada kebijakan. Tapi cenderung menurun kalau kebijakan ini tidak dilakukan atau infrastrukturnya tidak selesai. Artinya, justru infrastruktur ini kalau memang mau dilakukan ya harus diselesaikan sesuai perencanaan. Ini menjadi warning pemerintah, kebijakan infrastruktur yang memang sebagai alokasi belanja yang semakin besar, dampaknya seperti ini," ungkapnya di Kantor Indef, Rabu (21/3/2018).
Dia menegaskan, jangan sampai Indonesia seperti negara Pakistan, Srilanka, Angola, Nigeria, dan Zimbabwe yang mempunyai cerita buruk karena tidak mampu membayar utang untuk pembangunan infrastrukturnya.
"Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang," jelasnya.
Baca Juga : 8 Fakta tentang Utang Pemerintah yang Mencapai Rp4.000 Triliun
Dia mencontohkan, negara Angola dan Zimbabwe bahkan sampai mengganti nilai mata uangnya untuk bisa membayar utang. Kemudian Srilanka tidak bisa membayar utang dan harus rela memberikan pelabuhan untuk membayar utangnya.
"Khawatir Indonesia mirip-mirip. Utang untuk infrastruktur, ternyata ya kita bisa lihat nanti. Tapi infrastruktur di kita itu yang agak aneh, infrastruktur kan untuk produksi dan efisiensi, tapi tidak terjadi juga di kita. Biaya transportasi naik, transaksi naik, harga naik, inflasi juga tinggi. Artinya, memang infrastruktur ini belum bisa mendorong efisiensi," jelasnya.
Baca Juga : Pembayaran Utang Tak Bisa Andalkan Pajak
Sementara itu, dia menjelaskan ada juga beberapa negara yang sukses membayar utang dan bisa dicontoh oleh Indonesia.
"Ada juga success story seperti Korea Selatan, Jepang, China. Alokasi utang untuk infrastruktur adalah sektor yang bisa mendukung langsung nilai tambah. Itulah produktif. Tapi anehnya di kita, infrastruktur dibangun tapi tidak mendorong nilai tambah di sektor tersebut. Ini yang jadi mengkhawatirkan sehingga produktivitas uang kita pertanyakan," tukasnya.
(feb)
(Rani Hardjanti)