Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Perang Dagang AS-China Untungkan Sawit RI, Ini Penjelasannya

Koran SINDO , Jurnalis-Senin, 05 November 2018 |12:19 WIB
Perang Dagang AS-China Untungkan Sawit RI, Ini Penjelasannya
Industri kelapa sawit (Foto: Reuters)
A
A
A

NUSA DUA – Perang dagang AS-China akan berdampak pada penurunan aktivitas ekspor-impor kacang kedelai. Sebaliknya perang dagang ini menguntungkan minyak sawit Indonesia.

Foreign Agricultural Services USDA Chris Rittgers mengungkapkan, sejak perang dagang dimulai, China memboikot impor kacang kedelai dari Amerika lalu mengalihkan aktivitas impor mereka ke Brasil. Pemerintah China memprediksi akan terjadinya pengurangan impor kacang kedelai pada 2018-2019 dari 93,9 juta ke 83,7 juta ton. “Kebijakan pengurangan impor kedelai tersebut mendorong Pemerintah China untuk mencari alternatif minyak nabati lain. Sudah barang tentu, pilihannya jatuh kepada sawit di Indonesia,” kata Chris pada acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2018 di Nusa Dua, Bali. Namun, Chris memastikan keputusan itu akan menekan harga kedelai.

Baca Juga: Dibutuhkan Dunia, Minyak Sawit Mentah Jadi Prioritas Perdagangan RI

Sebaliknya justru memberikan keuntungan tersendiri bagi AS, yaitu bertambahnya stok komoditas kedelai di tengah harga dan permintaan kacang kedelai yang semakin meninggi. Pernyataan senada dikemukakan James Fry, Chairman dari LMC International, Oxford, UK. Fry menilai, kebijakan Trump memang sedikit memengaruhi harga minyak kedelai, tapi di sisi lain, juga menekan harga CPO karena harga minyak bumi (brent) ikut terkoreksi. Patokan utama dari harga CPO adalah brent. Harga brent yang menetapkan rentang perdagangan untuk minyak nabati di atas minyak mentah serta tata cara penjualan palm methyl ester (biodiesel) sangat memengaruhi CPO premium melalui tingkat stok minyak sawit.

Melihat Lebih Dekat Buruh Kerja Memanen Kelapa Sawit di Desa Sukasirna Sukabumi 

Namun, Fry memastikan korban terbesar dari perang dagang yang dilakukan Trump adalah petani kedelai di Amerika. “Pendapatan mereka akan berkurang hingga lebih dari 20%,” katanya. Hanya saja, pada satu sisi petani juga diuntungkan karena harga kedelai di Amerika Selatan meningkat akibat berkurangnya panen di Argentina. Persoalannya kebijakan bio-fuel telah memperparah masalah di sektor kedelai dengan memotong mandat biofuel yang efektif. AS yang melakukan sanksi dan embargo terhadap tiga produsen minyak bumi terbesar, yakni Iran, Venezuela, dan Rusia, hanya berdampak sedikit pada stok minyak mentah dunia.

Baca Juga: Kementerian LHK Evaluasi Izin 15 Juta Ha Lahan

Hal ini berimplikasi pada harga minyak mentah yang diperkirakan turun lagi dari level sebelumnya. Ini berarti produsen CPO harus berharap pada premium harga yang lebih tinggi untuk harga minyak sayur dibandingkan harga brent. Sejak 2007 harga minyak bumi telah menetapkan harga dasar bagi harga minyak sayur yang ada di EU. Empat kali sejak 2012, CPO Uni Eropa berada di harga dasar yang setara dengan harga brent. “Faktor kunci yang mempengaruhi harga saat ini adalah siklus produksi kelapa sawit. Pertama kalinya setelah waktu yang lama, siklus output di Malaysia dan Indonesia tidak sesuai harapan,” ujarnya.

Hampir semua produsen besar mengikuti Malaysia dengan penurunan produksi yang terjadi dari tahun ke tahun. Sementara Indonesia menyumbang suplai sekitar 60% dari minyak sawit dunia sehingga pertumbuhannya akan mengangkat output CPO dunia sebanyak lebih dari 4 juta ton. Dorab E Mistry dari Godrej International Limited memuji perkembangan kebijakan bio-diesel Indonesia yang merupakan keberhasilan lobi para pemangku kepentingan sawit termasuk Gapki. Kebijakan ini telah mengakibatkan industri sawit Indonesia menjadi dinamis. Faktor pendukung lain adalah penandatanganan kerja sama Indonesia dan India untuk mempromosikan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) ke pasar India.

Melihat Lebih Dekat Buruh Kerja Memanen Kelapa Sawit di Desa Sukasirna Sukabumi

Secara umum bisa dikatakan bahwa prospek Indonesia sangat cerah. Kondisi ini sangat berbeda dengan persoalan yang dihadapi Malaysia. Malaysia tertinggal jauh karena kesulitan menghadapi masalah ketenagakerjaan dan keterlambatan peremajaan kebun. Ini berdampak panen dan harga yang rendah. Produksi minyak sawit pada 2019 diperkirakan terdampak oleh El Nino dalam intensitas sedang. Ini terjadi dengan biological low cycle yang akan memengaruhi produksi sawit di Indonesia dan Malaysia. Kebutuhan energi dunia menunjukkan peningkatan baik.

Demikian juga dengan peningkatan produksi pangan. Skenario pasokan minyak nabati dunia juga lebih baik dengan peningkatan lebih rendah. Karena penumpukan stok, asumsi yang dipakai dalam membuat outlook di antara harga brent. Harga brent crude sekitar USD80-90 per barel, dengan kemungkinan peningkatan suku bunga The Fed pada Desember 2018 dan 2019 serta pelambatan pertumbuhan GDP dunia pada 2018. Harga minyak sawit diperkirakan akan menyentuh harga paling rendah dan akan meningkat lagi.

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement