JAKARTA - Dinamika perekonomian global membutuhkan penyikapan yang tepat. Pemerintah menugaskan para duta besar yang akan memulai tugasnya, juga menjadi duta perekonomian dan perindustrian Indonesia. Untuk menjalankan diplomasi ekonomi secara terkoordinasi, para dubes diminta menggandeng lintas sektor.
"Kami mengapresiasi langkah Kementerian Luar Negeri melakukan diplomasi ekonomi dengan memperkuat daya saing produk andalan ekspor, melindungi komoditas strategis Indonesia, berikut membuka pasar baru di luar negeri. Semua tadi dilakukan bersama-sama, melibatkan lintas sektor sektor industri," ujar Managing Director Sinar Mas Gandhi Sulistiyanto, Kamis (24/1/2019).
Baca Juga: Update Perkembangan Diplomasi Ekonomi Indonesia
Menurutnya, diplomasi ekonomi adalah agenda tetap pemerintah yang tak pernah terlewatkan. Hanya saja, ketika situasi politik dan ekonomi kawasan bergejolak, dimana setiap negara semakin kuat melindungi kepentingan nasional masing-masing, sinergi sangat diperlukan.
"Menteri Luar Negeri menyatakan, me first policy semakin sering kita jumpai. Proteksionisme melalui hambatan tarif maupun non tarif semakin menjadi pilihan. Sehingga penting bagi kami untuk membuka diri, berbagi informasi dengan para duta besar yang menjadi ujung tombak diplomasi ekonomi dan industri Indonesia di luar negeri," ungkapnya.
Terkait masalah proteksionisme ini, Sulistiyanto mengatakan, untuk mengamankan kepentingan ekonominya, sejumlah negara barat melakukan advokasi berikut kampanye melibatkan organisasi masyarakat sipil.
Mereka kerap menyudutkan komoditas andalan ekspor Indonesia, salah satunya kelapa sawit. Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit terbesar dunia dengan capaian devisa tahun 2017 hampir USD23 miliar. Dari sektor pulp dan kertas, devisa yang diraih hampir USD6 miliar. Sementara pertambangan batubara berkontribusi lebih dari USD21 miliar.