Selanjutnya di sektor energi, dia mengatakan teknologi nuklir juga masih sulit menembus kebijakan bauran energi nasional. Pada akhirnya Batan hanya bisa mengambil posisi sebagai technical support organization (TSO).
Keraguan, menurut dia, tidak hanya terjadi pada pemerintahan di tingkat pusat. Sering kali kepala daerah juga mengemas isu energi nuklir ini dengan bahasa yang tidak jelas, salah satunya seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada akhirnya yang terjadi adalah kegagalan seperti di Jepara dan Batam.
"Jadi kesimpulan saya, apakah nuklir ini dibutuhkan oleh Indonesia atau tidak?" kata Djarot.
Namun dia mengatakan di sisi lain pihak pronuklir selalu menganggap Batan terlalu sering mengambil sikap menunggu, tidak proaktif. Persoalannya ketika Batan mencoba lebih proaktif dikhawatirkan kejadiannya akan seperti di Bangka-Belitung, ketika telah mengeluarkan dana hingga Rp150 miliar untuk feasibility studies (FS) pada akhirnya tidak dapat dilanjutkan.
Deputi Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir Batan Hendig Winarno mengatakan pihaknya akan mencoba betul-betul menjadi provider teknologi, TSO, clearing house of nuclear technology di 2019. Batan ingin semakin "membumikan" teknologi nuklir.