Ketika itu, jika berkaca pada laporan Presiden Direktur Astra dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSBL) 8 Februari 1998, boleh dibilang perusahaan itu sudah bangkrut. Sahamnya sendiri di Bursa Efek Jakarta hanya bernilai Rp225 per lembar saham pada September 1998 turunnya dibandingkan dengan saat go public menjelang akhir 1980-an yang mencapai belasan ribu rupiah.
Beberapa langkah segera Rini ambil, seperti program efisiensi usaha melalui pemotongan gaji jajaran eksekutif, penutupan jaringan distribusi yang kurang strategis, serta pengurangan 20% karyawan dari 100 ribu karyawan Astra saat itu. Selain itu, Rini juga mengajak karyawan menjadi bagian dari pemegang saham Astra sehingga kepentingan pemegang saham, perusahaan dan karyawan bisa selaras.
Langkah lainnya adalah merestrukturisasi utang Astra International yang mencapai USD1 milliar dan Rp1 trilliun. Akibat langkah-langkah itu, keuntungan Astra untuk seluruh tahun 1999 mencapai Rp800 milliar dari kerugian mencapai Rp1,976 trilliun tahun 1998.
"Terharunya waktu 1998 itu Astra hampir bangkrut, setengah mati krisis moneter dan sekarang punya kantor segede ini jadi saya terharu dan bangga sekali," kisahnya saat ditemui di Menara Astra, Rabu (20/2/2019).