Sementara dari sisi bunga dan denda, penyelenggara fintech lending ilegal mengenakan biaya dan denda yang sangat besar serta tidak transparan, sedangkan yang legal diwajibkan memberikan keterbukaan informasi mengenai bunga dan denda maksimal yang dapat dikenakan kepada pengguna.
"Bahkan, AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) mengatur bunga maksimal 0,8 persen per hari dan total seluruh biaya termasuk denda adalah 100 persen dari nilai pokok pinjaman. Penyelenggara 'Fintech Lending' yang terdaftar atau berizin di OJK wajib menjadi anggota AFPI," katanya.
Menurut dia, fintech lending ilegal dalam melakukan penagihan cenderung dengan cara-cara yang kasar, mengancam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan hukum, sedangkan tenaga penagih pada fintech lending yang terdaftar atau berizin di OJK wajib mengikuti sertifikasi tenaga penagih yang dilakukan oleh AFPI.
Baca Juga: Banyak Makan Korban, OJK Tutup 231 Pinjaman Online Ilegal
Selain itu, aplikasi fintech lending ilegal akan meminta akses ke seluruh data pribadi yang ada di dalam telepon pintar pengguna yang kemudian disalahgunakan untuk melakukan penagihan, sedangkan fintech lending yang legal hanya diizinkan mengakses "camilan", yakni "camera" (kamera), mikrofon, dan lokasi pada telepon pintar pengguna.
"Lokasi kantor 'Fintech Lending' ilegal tidak jelas atau ditutupi dan bisa jadi di luar negeri untuk menghindari aparat hukum, sedangkan lokasi 'Fintech Lending' berizin dapat diketahui secara jelas karena disurvei OJK serta dapat ditemukan dengan mudah di'Google Map'. Penyelenggara 'Fintech Lending' yang terdaftar atau berizin OJK wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Republik Indonesia," katanya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)