Di bidang industri apapun, termasuk migas, perkapalan, dan perbankan, bila aturannya diikuti, komunikasi lancar dan ada itikad baik, maka akan berjalan mulus. Sebaliknya masalah terjadi, jika kontraknya tidak diperpanjang, namun ada risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran aturan oleh vendor. Ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Namun demikian penyelesaian melalui jalur PHI amat tidak diminati, mengingat proses penyelesaian yang panjang, berbelit, dan menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka akan lebih memilih penyelesaian langsung melalui perundingan bipartite dengan karyawan atau pekerja,“ katanya.
Sebenarnya sistem pekerjaan kontrak tidak dapat diberlakukan terlalu lama. Ada jangka waktu masa kontrak pekerjaan, yaitu maksimal selama dua tahun. Selanjutnya bisa diperpanjang maksimal satu tahun.
Setelah masa tersebut terlampaui, maka dapat diperpanjang lagi untuk dua tahun berikutnya, namun harus melalui masa pembebasan kontrak selama sebulan. Jadi siklus pekerja kontrak, maksimal adalah lima tahun masa kerja.
Dia memberikan satu contoh kasus pada PT Jakarta International Container Terminal (JICT). Perusahaan ini biasa memakai tenaga kerja outsourcing.
Pada 31 Desember 2017 kerja sama PT JICT dan perusahaan penyedia outsourcing, PT Empco berakhir, otomatis 400 karyawan outsource di bawah PT Empco harus putus kontraknya.
Sebenarnya hal yang wajar saja, bahkan ketika PT JICT mengontrak karyawan outsource baru, di bawah PT Multi Tally Indonesia, yang memang keluar sebagai pemenang tender perusahaan penyedia outsourcing berikutnya.
Yang terjadi kemudian adalah, para karyawan yang di bawah naungan PT Empco, menolak pemutusan hubungan kerja. Dan yang lebih tidak masuk akal, Serikat Pekerja JICT (SPJICT) menuntut perekrutan karyawan outsource tersebut untuk menjadi karyawan tetap.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)