Peraturan ini diharapkan mampu mengubah perilaku pengemudi. Aplikator juga seharusnya dapat terus membimbing dan mengawasi perilaku pengemudi. Ojek online menurutnya juga akan kalah bersaing jika angkutan umum melakukan penetrasi ke wilayah perumahan dan menawarkan tarif murah.
Untuk di daerah juga seperti itu, jika angkutan umum diperbaiki dan lebih didekatkan dengan masyarakat juga sistem yang diubah. Masyarakat akan kembali beralih menggunakan angkutan konvensional.
“Sistem Jak Lingko seperti di Jakarta bisa diterapkan di daerah. Pengemudi tidak mengejar setoran sesuai dengan waktu dia jalannya sehingga tidak ada yang mengetem yang pasti membuat masyarakat kembali memilih naik angkot. Di daerah saya rasa lebih cepat berubahnya,” jelasnya.
Saat ini sudah ada lima kota yang bersedia sistem angkotnya dibenahi dan dibuat seperti Jak Lingko. Daerah tersebut ialah Medan, Palembang, Solo, Denpasar, dan Sorong. Tarif angkutan online yang semakin mahal membuat pihak lain terus berupaya menarik minat masyarakat untuk kembali menggunakan angkutan umum massal.
Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menggunakan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang dikeluarkan Presiden tahun 2018 lalu untuk penanganan sarana transportasi, khususnya di Jabodetabek.
RITJ menargetkan membangun sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi di seluruh Jabodetabek berbasiskan angkutan umum massal. Sistem transportasi yang akan diwujudkan nantinya akan lebih banyak memindahkan orang daripada memindahkan kendaraan karena berbasis angkutan umum massal.
Di dalam penjabarannya RITJ telah secara jelas menggambarkan bagaimana sasaran harus tercapai pada akhir implementasi pada 2029. Dari sisi pergerakan orang disebutkan bahwa 60 % pergerakan orang harus menggunakan angkutan umum massal perkotaan.
“Sementara itu waktu perjalanan rata-rata menggunakan angkutan umum massal maksimal 1 jam 30 menit dari tempat asal ke tujuan dengan perpindahan moda dalam satu kali perjalanan maksimal 3 kali.
Untuk itu kecepatan rata-rata kendaraan angkutan umum perkotaan pada jam puncak minimal 30 km/jam,” ungkap Budi Rahardjo Kepala Bagian Humas BPTJ. Dari sisi aksesibilitas juga disebutkan bahwa cakupan layanan angkutan umum perkotaan harus mencapai 80% dari panjang jalan dan setiap daerah harus mempunyai jaringan layanan lokal/pengumpan (feeder ) yang diintegrasikan dengan jaringan utama melalui satu simpul transportasi perkotaan.
Simpul transportasi perkotaan itu sendiri harus memiliki fasilitas pejalan kaki dan fasilitas parkir pindah moda dengan jarak perpindahan antarmoda tidak lebih dari 500 meter. Demikian pula akses pejalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter.
Dengan demikian masyarakat dapat beralih menggunakan angkutan umum massal daripada angkutan umum yang masih sendiri. Selain lebih murah, tentu akan mengurangi kemacetan di jalan. (Ananda Nararya)
(Dani Jumadil Akhir)