JAKARTA - PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) mengakui kondisi keuangan perusahaan tak mampu memenuhi kewajiban buyback (pembelian kembali) surat utang (obligasi) yakni Senior Guaranteed Notes, sebagai akibat adanya keputusan pergantian direktur utama.
Surat utang senior tersebut diterbitkan oleh anak perusahaan, Jababeka International BV (JIBV), dengan nilai pokok USD300 juta atau setara Rp4,26 triliun (kurs Rp 14.200 per USD). Perseroan harus melakukan buyback sebesar 101% dari nilai pokok tersebut, nilai itu pun belum mencakup kewajiban bunga yang harus dibayarkan.
Baca Juga: Terancam Gagal Bayar, Dirut: Direksi Jababeka Jadi Korban Pemegang Saham
Direktur Utama KIJA Budianto Liman menyatakan, kas perusahaan saat ini tak cukup untuk memenuhi kewajiban tersebut. Total arus kas dan setara kas KIJA per Maret 2019 memang hanya berjumlah Rp873,89 miliar.
Terlebih jatuh tempo pemenuhan kewajiban itu hanya satu bulan setelah diputuskan pergantian direktur utama pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 26 Juni 2019 lalu.
Dalam RUPST tersebut, memang ada agenda tambahan yang diusulkan di tengah rapat, yakni mengganti posisi Budianto dengan Sugiharto, serta mengangkat Aries Liman sebagai Komisaris. Usulan mendadak itu diberikan oleh pemegang saham mayoritas yakni PT Imakotama Investindo sebesar 6,387% dan Islamic Development Bank sebesar 10,841% dari total seluruh saham.
Padahal dalam aturan penerbitan surat utang yang memiliki jatuh tempo pada tahun 2023 tersebut, jika terjadi pergantian direktur utama maka perseroan wajib melakukan buyback.
"Ini kan notes global jadi kita mengikuti aturan Amerika Serikat (AS), ada kaidah yang berbeda dengan yang di Indonesia. Di mana pergantian direktur utama memicu kewajiban untuk melakukan buyback notes tersebut," jelasnya dalam konferensi pers di Gedung WTC I, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Baca Juga: Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang
Hal ini diakui Budianto merupakan kejadian yang tak terduga, sebab perseroan hanya memperhitungkan pembayaran surat utang tersebut saat jatuh tempo di 2023.
"Kami perusahaan publik tentu punya perencanaan pembayaran baik jangka pendek maupun panjang. Notes ini kan jatuh tempo 2023, masih ada 4 tahun lagi. tentu ini belum masuk ke jadwal (pembayaran utang). Ini hal yang di luar dugaan," ungkapnya.